11 Jun 2016

SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579) Bag 5

Setelah  Sri  Baduga  wafat,  Pajajaran  dengan  Cirebon  berada  pada  generasi  yang  sejajar.  Meskipun  yang  berkuasa  di  Cirebon  Syarif  Hidayat,  tetapi  dibelakangnya  berdiri  Pangeran  Cakrabuana  (Walasungsang  atau  bernama  pula  Haji  Abdullah  Iman).  Cakrabuana  adalah  kakak  seayah  Prabu  Surawisesa.  Dengan  demikian,  keengganan  Cirebon  menjamah  pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.  Meskipun,  Cirebon  sendiri  sebenarnya  relatif  lemah.  Akan  tetapi  berkat  dukungan  Demak,  kedudukannya  menjadi  mantap.  Setelah  kedudukan  Demak  goyah  akibat  kegagalan  serbuannya  ke  Pasuruan  dan  Panarukan  (bahkan  Sultan  Trenggana  tebunuh),  kemudian  disusul  dengan  perang  perebutan  tahta,  maka  Cirebon  pun  turut  menjadi  goyah  pula.  Hal  inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di  kemudian hari. 


Perang  Cirebon  –   Pajajaran  berlangsung  5  tahun  lamanya.  Yang  satu  tidak  berani  naik  ke  darat,  yang  satunya  lagi  tak  berani  turun  ke  laut.  Cirebon  dan  Demak  hanya  berhasil  menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh  ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak  karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat  pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi ―panah besi yang  besar  yang  menyemburkan  kukus  ireng  dan  bersuara  seperti  guntur  serta  memuntahkan  logam Tombak anak mereka karena Maka  Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh. 
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran  Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu  Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk  Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan  Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah  Cirebon. 
Dengan  kedudukan  yang  mantap  di  timur  Citarum,  Cirebon  merasa  kedudukannya  mapan.  Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka  kedua  pihak  mengambil  jalan  terbaik  dengan  berdamai  dan  mengakui  kedudukan  masing- masing.  Tahun  1531  tercapai  perdamaian  antara  Surawisesa  dan  Syarif  Hidayat.  Masing- masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah 
perjanjian,  Pangeran  Pasarean  (Putera  Mahkota  Cirebon),  Fadillah  Khan  dan  Hasanudin  (Bupati banten).

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus  dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan  menerawang  situasi  dirinya  dan  kerajaannya.  Warisan  dari  ayahnya  hanya  tinggal  setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan  lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih  mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya. 
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan  Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang  ayahnya.  Mungkin  juga  sekaligus  menunjukkan  penyesalannya  karena  ia  tidak  mampu  mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran  yang diamanatkan  kepadanya. Dalam  tahun  1533,  tepat  12  tahun  setelah  ayahnya  wafat,  ia  membuat  sasakala  (tanda  peringatan)  buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan  Pajajaran.  Itulah  Prasasati  Batutulis  yang  diletakkannya  di  Kabuyutan  tempat  tanda  kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa  sehingga  kedudukan  antara  anak  dengan  ayah  amat  mudah  terlihat.  Si  anak  ingin  agar  apa  yang  dipujikan  tentang  ayahnya  dengan  mudah  dapat  diketahui  (dibaca)  orang.  Ia  sendiri  tidak  berani  berdiri  sejajar  dengan  si  ayah.  Demikianlah,  Batutulis  itu  diletakkan  agak  ke  belakang di samping kiri Lingga Batu. 
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu  di  depan  prasasti  itu.  Satu  berisi  astatala  ukiran  jejak  tangan,  yang  lainnya  berisi  padatala  ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu  ―penyempurnaan yang setelah tahun raja Dengan  upacara itu, sukma orang  yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia  materi. 
Surawisesa  dalam  kisah  tradisional  lebih  dikenal  dengan  sebutan  Guru  Gantangan  atau  Munding  Laya  Dikusuma.  Permaisurinya,  Kinawati,  berasal  dari  Kerajaan  Tanjung  Barat  yang  terletak  di  daerah  Pasar  Minggu,  Jakarta  Selatan,  sekarang.  Kinawati  adalah  puteri  Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. 
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini  terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara  Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa  dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman  dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari  Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)]. 

Surawisesa  memerintah  selama  14  tahun  lamanya.  Dua  tahun  setelah  ia  membuat  prasasti  sebagai  sasakala  untuk  ayahnya,  ia  wafat  dan  dipusarakan  di  Padaren.  Di  antara  raja-raja  jaman  Pajajaran,  hanya  dia  dan  ayahnya  yang  menjadi  bahan  kisah  tradisional,  baik  babad  maupun  pantun.  Babad  Pajajaran  atau  Babad  Pakuan,  misalnya,  semata  mengisahkan  ―petualangan Surawisesa (Guru Gantangan) dengan a cerita Panji.  
3. Ratu Dewata (1535 –  1534) 
Surawisesa  digantikan  oleh  puteranya,  Ratu  Dewata.  Berbeda  dengan  Surawisesa  yang  dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat  alim  dan  taat  kepada  agama.  Ia  melakukan  upacara  sunatan  (adat  khitan  pra-Islam)  danmelakukan  tapa  pwah-susu,  hanya  makan  buah-buahan  dan  minum  susu.  Menurut  istilah  kiwari vegetarian.  Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa  bahwa  sebagai  tunggul  negara  ia  harus  tetap  bersiaga.  Ia  kurang  mengenal  seluk-beluk  politik. 
Hasanudin  dari  Banten  sebenarnya  ikut  menandatangani  perjanjian  perdamaian  Pajajaran- Cirebon,  akan  tetapi  itu  dia  lakukan  hanya  karena  kepatuhannya  kepada  siasat  ayahnya  (Susuhunan  Jati)  yang  melihat  kepentingan  Wilayah  Cirebon  di  sebelah  timur  Citarum.  Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya  berbatasan  langsung  dengan  Pajajaran.  Maka  secara  diam-diam  ia  membentuk  pasukan  khusus  tanpa  identitas  resmi  yang  mampu  bergerak  cepat.  Kemampuan  pasukan  Banten  dalam  hal  bergerak  cepat  ini  telah  dibuktikannya  sepanjang  abad  ke-18  dan  merupakan  catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf. 
Menurut  Carita  Parahiyangan,  pada  masa  pemerintahan  Ratu  Dewata  ini  terjadi  serangan  mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh ―t ambuh sangkane (tidak dikenal asal -usulnya). 
Ratu  Dewata  masih  beruntung  karena  memiliki  para  perwira  yang  pernah  mendampingi  ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu  menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri  Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu  menembus  gerbang  Pakuan.  [Alun-alun  Empang  sekarang  pernah  menjadi  Ranamandala  (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada  cucunya]. 

Penyerang  tidak  berhasil  menembus  pertahanan  kota,  tetapi  dua  orang  senapati  Pajajaran  gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah  pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan  bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di  Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan  pembuatan  parit  pertahanan  kota.  Kemudian  keadaan  Pakuan  ini  diperluas  pada  jaman  Sri  Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara  lain (artinya saja). 
"Sang  Maharaja  membuat  karya  besar,  yaitu  membangun  telaga  besar  yang  bernama  Maharena  Wijaya,  membuat  jalan  yang  menuju  ke  ibukota  Pakuan  dan  jalan  ke  Wanagiri,  memperteguh  kedatuan,  memberikan  desa  (perdikan)  kepada  semua  pendeta  dan  pengiringnya  untuk  menggairahkan  kegiatan  agama  yang  menjadi  penuntun  kehidupan  rakyat.  Kemudian  membuat  kaputren  (tempat  isteri-isteri-nya),  kesatrian  (asrama  prajurit), 
satuan-satuan  tempat  (pageralaran),  tempat-tempat  hiburan,  memperkuat  angkatan  perang,  memungut  upeti  dari  raja-raja  bawahan  dan  kepala-kepala  desa  dan  menyusun  Undang- undang Kerajaan Pajajaran" 
Amateguh  kedatwan  (memperteguh  kedatuan)  sejalan  dengan  maksud  "membuat  parit"  (memperteguh  pertahanan)  Pakuan,  bukan  saja  karena  kata  Pakuan  mempunyai  arti  pokok  keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam  hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau  lemah  luhur  (dataran  tinggi,  oleh  Van  Riebeeck  disebut  "bovenvlakte").  Pada  posisi  ini,  mereka  tidak  berlindung  di  balik  bukit,  melainkan  berada  di  atas  bukit.  {Pasir  Muara  di  Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai  pernah  dijadikan  pemukiman  "lemah  duwur"  sejak  beberapa  ratus  tahun  sebelum  masehi}.  Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah 

Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.  {Tipe  lemah  duwur  biasanya  dipilih  sama  masyarakat  dengan  latar  belakang  kebudayaan  huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti  ini  biasanya  dibangun  dengan  konsep  berdasarkan  pengembangan  perkebunan.  Tipe  lain  adalah  apa  yang  disebut  garuda  ngupuk.  Tipe  seperti  ini  biasanya  dipilih  oleh  masyarakat  dengan  latar  belakang  kebudayaan  sawah.  Mereka  menganggap  bahwa  lahan  yang  ideal  

No comments:

Post a Comment