11 Jun 2016

BABAD PURBALINGGA

BABAD PURBALINGGA (1) : ADIPATI WIRASABA

Pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatttkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.


Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.
Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah (Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

Babad Purbalingga (2) : BERDIRINYA BANYUMAS

Peristiwa tebunuhnya Adipati Wirasaba ternyata menimbulkan rasa sesal dihati Sultan Pajang. Sultan Pajang menyadari bahwa tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang masak, dapat berakibat fatal.

Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya. Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan, Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan diberi gelar Wargautama II.

Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi empat).
Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.

Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba, Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.
Peristiwa tebunuhnya Adipati Wirasaba ternyata menimbulkan rasa sesal dihati Sultan Pajang. Sultan Pajang menyadari bahwa tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang masak, dapat berakibat fatal.

Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya. Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan, Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan diberi gelar Wargautama II.

Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi empat).
Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.

Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba, Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.
Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.
Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa piker panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.
Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.
Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.
Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua) melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu Pahing.
Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan.
Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya pembangunan nasional.
Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.

BABAD PURBALINGGA (3) :ASAL-USUL ADIPATI WARGAUTAMA II

Adipati  Wargautama II yang semasa kecilnya bernama Jaka Kaiman adalah Putera Banyak Sasra dari Pasir Luhur. Karena ayah sendiri meninggal dunia, sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Kia Mranggi. Banyak Sasra dengan Kyai Mranggi (Rara Ngaisah) adalah bersaudara. Keduanya keturunan Raden Baribin melarikan diri kearah barat hingga sampailah ke negeri Pakuan, Parahiyangan. Ia kemudian kawin dengan puteri raja Pakuan Dewi Ratana Pamengkas. Dari perkawinan dengan Dewi Ratna Pamekas, ia menurunkan:

1.      Jaka Katuhu,
2.      Raden Banyak Sasra,
3.      Raden Kumara,
4.      Rara Ngaisah yang kawin dengan Kiai Mranggi dan menetap di Desa Kejawar.

Jaka Kaiman ketika meningkat dewasa mengabdikan diri pada Adipati Wirasaba R. Wargautama I, kemudian diambil sebagai menantu bahkan akhirnya menggantikan kedudukan.

BABAD PURBALINGGA (4) : KI TEPUS RUMPUT

Sementara ketika Takhta  Kesultanan Pajang diduduki oleh Raden Hadiwijaya, di Penggalasan kulon (tenggara gunung Slamet) terdapat seorang laki-laki bernama Ki Tepus Rumput.

Tak seorang pun mengerti soal asal-usul orang ini. Tetapi sementara orang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang ditempatkan digerumbul itu oleh Syeh Bakir, agar beranak cucu dan bisa merobah hutan itu menjadi sebuah pedusunan. Namun sebelum sempat mempunyai keturunan, isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia.

Akibat kematian isterinya, batin Ki Tepus Rumput setiap harinya menjadi tertekan, tubuhnya semakin hari semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi, mata dan pipinya menjadi cekung, rambut dan janggut yang tak terurus lagimenjadi lebat, kulit muka kisut-kisut, amat lesu dan tampak lebih tua bila dibandingkan dengan  usia sebenarnya.

Malam itu ada ia berada di hutan, duduk dibawah pohon jati. Untuk menahan rasa sedih dihatinya, ia menutup wajahnya dengan erat-erat. Sesaat melepaskan tangannya ia sangat terkejut. Terlihat di depannya sebuah bayangan yang menyerupai seorang manusia, berjanggut panjang dan berjubah putih. Lebih terkejut lagi ketika bayangan itu bersuara. Maksudnya agar Ki Tepus Rumput mencari cincin emas bernama Soca Ludira yang terdapat di bawah pohon jati wangi itu. Bayangan yang mengaku dirinya bernama Kiai Kantaraga itu mengaku pula eyang dari Ki Tepus Rumput sendiri.

Pesannya bila cincintelah ditemukan agar segera serahkan kepada Sultan Pajang. Ki Tepus Rumput menjadi bingung dan heran. Semula suara bayangan tadi dianggap tidak masuk akal, terdesak oleh perasaan bingung, ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu-batu yang terdapat di sekitar pohon jati. Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi denganmenggunakan kapur sirih. Tempat dimana batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal dengan desa Bata Putih. Setelah lama dicarinya, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan juga. Segera Ki Tepus Rumput meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pajang.

BABAD PURBALINGGA (5) : TERIMA HADIAH SEORANG PUTRI

Sultan Pajang Raden Hadiwijaya sangat terkejut dan heran meneria cincintersebut. Memang sejak hilangna cincinpusaka itu, Sultan Pajang pernah mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang menemukan, bila seorang pria akan diberi selir cantik, sebaliknya bila yang menemukan seorang wanita, ia akan dijadikan isterinya. Tetapi sejauh ini tak seorangpun dari rakyat Pajang yang berhasil memenangkan sayembara itu.

Tidak diduga semula,, cincinini yang menemukan ternyata Ki Tepus Rumput salah seorang lelaki as all gerumbul Pengalasan Kulon yang jauh letaknya dari Pajang. Dengan demikian ia berhak menerima hadiah seorang selir tercantik dari Sultan Hadiwijaya. Kecuali itu Ki Tepus Rumput diberi pula jabatan Adipati dipengalasan kulon yang masih termasuk wilayah Kesultanan Pajang. Ia kemudian berganti nama menjadi Raden Ore-Ore.

Pemberian selir ini juga disertai janji-janjiagar Ki Tepus Rumput atau Raden Ore-Ore jangan dulu menggaulinya, mengingat selir ini sedang keadaan mengandung empat bulan. Larangan “bergaul” ini tidak berlaku lagi setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.

Dengan penyerhan salah seorang selir tercantik sebagai hadiah, berarti menunjukan kebesaran jiwa yang sungguh –sungguh dari seorang pemimpin yang ucapannya tidak bisa berubah. Atau perkatain lain “ Sabda Pandita Ratu”.

Dalam perjalanan pulang ke Pengalasan Kulon ia mendapat pengawalan ketat dari prajurit-prajurit Pajang dibawah pimpinan seorang bernama Puspajaya.

Ditengah hutan mereka ternyata mendapat penghadangan dari seorang bekas pengikut Harya Penangsan, yang menamakan dirinya Jala Sutera atau Putera Jala. Setelah gagal membujuk Puspajaya agar menyerahkan Puteri yang dibawanya Jala Sutera kemudian berusaha merampasnya dengan jalan kekerasan, namun berkat kejujuran dan keberanian Puspajaya, akhirnya penghadang itu berhasil disingkirkan. 
Begitulah setelah mengalami gangguan dan kesulitan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan Kulon dangan selamat. Mereka lalu membuat pamukiman baru untuk tinggal dan selanjutnya Pengalasan Kulon dirubah menjadi desa dengan nama ‘Surti”. Konon nama ini berasal dari perkataan sur puteri yang berarti lungsuran puteri.

Mula-mula penduduk desa Surti sangat sedikit. Hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan banyak penduduk lain desa berdatangan kesana. Mereka hidup bertani dan kemudian menetap di desa yang baru dibuka itu. Dengan keadaan desa Surti semakin lama semakin ramai, berkat pembangunan yang dilaksanakan oleh rakyatnya dengan bantuan prajurit-prajurit Pajang.

BABAD PURBALINGGA (7) : CALON ADIPATI ONJE LAHIR

Beberapa bulan kemudian nyai Ore-Ore (bekas selir Sultan Pajang) melahirkan seorang bayi pria. Bayi ini lalu dibwa ke Pajang dan oleh Sultan Hadiwijaya diberi nama Nyakrapati atau nama panggilan Jimbun Lingga. Karena belum cukup usia, jabatan Adipati sementara masih dipegang oleh Raden Ore-Ore. Sedangkan rumah kadipatennya didirikan disebelah barat sungai Klawing yang kemudian diberi nama “ONJE” ( sekarang termasuk kec. Mrebet).

Beberpa tahun setelah dewasa, dan dipandang mampu memegang tampuk pimpinan Raden Nyakrapati menerima pelimpahan jabatan Adipati dari Raden Ore-Ore. Ia kemudian bergelar Raden Hanyakrakusum

BABAD PURBALINGGA (8) :BANYAK KAUM NINGRAT KETURUNAN PAJANG

Dalam perkawinannya dengan Puteri Keling, Adipati Onje tidak menurunkan anak. Sedangkan dengan Rara Pakuwati (Puteri Medang) ia menurunkan dua dua orang putera dan seorang puuteri masing-masing : Raden Mangunjaya atau Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling bungsu adalah Rara Banowati. Yang sulung meninggalkan nama bekas desa Mangunegara, sekarang termasuk Kec. Mrebet, Purbalingga. Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid Abdullah yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje.

Putera-Puteri Adipati Onje ini selanjutnya menurunkan lagi anak cucu yang tak terhitung jumlahnya. Mereka tergolong kaum ningrat keturunan Pajang yang hingga sekarang banyak tersebar di daerah Purbalingga.
a.

BABAD PURBALINGGA (9) : PERKEMBANGAN ISLAM

Saat pemerintahan Kadipaten Onje mencapai puncak kejayaannya, ke pelosok-pelosok yang jauh dari keramaian. Mereka tinggal berbulan-bulan, bahkan ada yang terus menetap dan kawin dengan penduduk setempat. Selama itulah mereka akrab bergaul dengan penduduk sehingga mempunyai kesempatanbaik untuk menyiarkan agama Islam.

Diatara mereka terdapat pula salah seorang putera Pejajaran bernama Raden Liman Sujana. Kedatangan Raden Liman Sujana buka untuk menyiarkan agama Islam atau mencari keuntungan melainkan ia bermaksud mencari nur (cahaya).

Raden Liman Sujana adalah adik kandung Banyak Sasra ayah dari Wargautama II (Bupati Banyumas pertama). Ia sebenarnya berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Pejajaran. Namun kedudukan itu ditolak, setelah diketahui Pejajaran sedang menghadapi keruntuhan akibat pengaruh Islam yang dibawa oleh Yusuf Maulana dari Banten. Karenanyaia lalu meninggalkan Pejajaran dan pergi ke Banten bertapa dibawah pohon jambu dilereng Gunung Karang. Dari tempat inilah Raden Liman Sujana melihat ada nur (cahaya) disebelah timur.

Segera ia beranjak dari pertapaannya dan menuju ke timurdengan menyusuri pulau jawa sebelah utara. Sesampainya di daerah Tegal, ia membelok ke Selatan dimana nur itu tampak dekat sekali. Ditengah hutan gunung Munggul bukannya ia menemukan nur yang dicarinya, tetapi ketemu seorang penderes bernama Ki Kelun yang sedang memanjat pohon enau sambil menggendong anaknya yang masih kecil, Rubiah Bhekti namanya. Ki Kelun mengaku dari desa Wanakasimpar yang kemudian berganti nama desa Pamidangan dan sekarang namanya Rajawana.

BABAD PURBALINGGA (10) : RADEN LIMAN SUJANA MENGANUT ISLAM

Menurut legenda, Ki Kelun adalah seorang yang ditempatkan di desa (Wanakasimpar) oleh seorang alim ulama seperti halnya Ki Tepus Rumput di gerumbul Pengalasan Kulon. Tetapi setelah melahirkan Rubiah Bhekti, istri Ki Kelun meninggal dunia. Karena kasihan, Raden Liman mengambil Rubiah Bhekti, sebagai anak angkat. Bertahun-tahun Raden Liman Sujana tinggal di hutan. Suatu hari ia ketemu dengan seorang Arab bernama Syeh Wali Rakhmat. Pendatang baru ini mengaku akan mengislamkan tanah jawa.

Raden Liman Sujana dan Syeh Wali Rakhmat kemudian saling berbantahan, masing-masing mengeluarkan kecakapannya. Tetapi Raden Liman Sujana akhirny amenyerah kalah. Atas kemenangannya, Syeh Wali Rakhmat secara bijaksana meminta agar Raden Liman Sujana bersedia menganut agama Islam. Dengan ketulusan hati permintaan itu dapat dipenuhi, bahkan Rubiah Bhekti yang sudah dewasa agar diambil oleh Syeh Wali Rakhmat sebagai isteri.

Sebagai seorang yang telah menganut Islam, Raden Liman Sujana berganti nama menjadi Syeh Jambukarang. Nama ini mungkin ada kaitannya, karena I pernah bertapa dibawah pohon jambu dilereng Gunung Karang Banten. Hutan dimana ia selama bertahun-tahun tinggal, disebut desa Cahyana. Mereka lalu hijrah dan menetap di desa Rajawana yang hingga sekarang merupakan basis para santri di daerah Purbalingga. Syeh Jambukarang bermakam di desa Penusupan Purbalingga yang sekarang dikenal sebagai makam Ardilawet.
Nya Rubiah Bhekti yang bermakam di desa Kramat Kecamatan Karangmoncol, dalam perkawinannya dengan Syekh Wali Rakhmat menurunkan:

1. Pangeran Mahdum Kusen, bermakam di Rajawana;
2. Pangeran Mahdum Medem, bermakam di Cirebon;
3. Pangeran Mahdum Umar, bermakam di Pulau Karimun Jawa;
4. Nyai Rubiah Razak, bermakam di Ragasela Pekalongan;
5. Nyai Rubiah Sekar, bermakam di Jembangan Gunung Wuled.

Setelah usia mencapai 45 tahun, Syekh Wali Rakhmat kembali lagi ke Arag dan pimpinan daerah Rajawana digantikan oleh putera sulungnya taitu Pangeran Mahdum Kusen.

BABAD PURBALINGGA (11) : KETURUNAN PANGERAN MAHDUM KUSEN

Pangeran Mahdum Kusen  yang dikenal pula bernama Pangeran Kayupuring, mempunyai putera bernama Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil menurunkan dua oran putera masing-masing Pangeran Mahdum Toret, bermakam di Bogares Tegal dan Pangeran Mahdum Wali Prakosa bermakam di Pekiringan.

Sementara itu pangeran Mahdum Wali Prakosa menurunkan dua orang Puteri masing-masing Kiai Singayuda, Adiati Arenan dan Pangeran Estri yang kawin dengan Putera Sunan Kudus atau lebih dikenal dengan sebutan Santri Gudig.

Akhirnya kiai Singayuda menurunkan lagi Nyai Tegalpinang yang diperistri oleh Raden Tumenggung Dipayuda III, Bupati Pertama Purbalingga.

BABAD PURBALINGGA (12) : LAHIRNYA KESENIAN BRAEN

Pernah Pangeran Mahdum Kusen pada suatu hari dipanggil oleh Adipati Onje. Tidak jelas apa sebenarnya maksud panggilan itu. Tetapi Pangeran Mahdum Kusen menolaknya dengan alasan meskipun desa Rajawana termasuk kekuasaan Kadipaten Onje, namun desa ini sebenarnya adalah milik Alloh. Didesa ini dirinya tak akan berbuat jahat. Apabila sang Adipati menghendaki bertemu,harap datang saja ke desa Rajawana. Ia bersedia menmuinya.

Penolakan itu ternyata dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Atas kemarahannya, Adipati Onje lalu mengirimkan pasukan untuk menangkap Pangeran Mahdum Kusen. Tetapi sial, sebelum memasuki desa Rajawana pasukan Onje keburu kemalaman.

Akhirnya kedatangan pasukan ini dapa diketahui oleh masyarakat Rajawana termasuk Pangeran Mahdum Kusen sendiri. Oleh karena itu Pangeran Mahdum Kusenmengumpulkan beberapa orang wanita agar membunyikan rebana diserambi muka. Sedangkan ia sendiri melakukan sholat hajat didalam kamar.

Bersamaan dengan terdengarnya suara rebana, ribuan ekor tawon gung dengan secara tiba-tiba dan serempak terbang melabrak prajurit-prajurit Onje yang tengah bersiap-siap bermalam di tepi salah satu sungai. Karena tak tahan menghadapi binatang-binatang bersengat, terpaksa mereka lari tungang langgang dan pulang kembali ke Onje.

Pemukulan rebana ini hingga sekarang disebut “BRAEN”, merupakan kesenian khas desa Rajawana dan sekitarnya.

BABAD PURBALINGGA (13) : ONJE MEROSOT

Kejayaan Kadipaten Onje ternyata ada batasnya. Apalagi usia sang Adipati semakin lama semakin tua, pelupa, pemarah serta sering melamun.

Pada suatu hari sang Adipati sedang nyenyak tidur. Tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan seorang wanita. Karena terkejut, segera ia meloncat menuju gandok belakan. Apa yang dilihatnya? Kedua orang istrinya (Puteri Keling dan Dewi Medang) sedang berkelahi dengan sengitnya. Melihat peristiwa itu hilanglah kesabaran sang Adipati. Diambilnya sebuah pedang dan dengan pedang terhunus kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka mati terkapar dilantai.

Peristiwa ini kemudian terdengar juga oleh Adipati Cipaku (mertuanya). Karena kemarahannya, Adipati Cipaku mengeluarkan pepali (pesan turun temurun). Biar sampai kiamat, orang Onje dilarang kawin dengan orang Cipaku.

BABAD PURBALINGGA (14) : PERTIMASA DAN WATU WEDUS

Semasa pemerintahan Adipati Singayuda, daerah Kadipaten Arenan (Sekarang Kec.  Kaligondang) pernah mengalami gangguan keamanan yang membuat ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan kebencian dikalangan masyarakat. Pelakunya adalah seorang gembong penjahat bernama pretimasa asal desa Sindang/Salam, yang masih saudara kandung dari Nyai Adipati Arenan sendiri.
Pretimasa terkenal sebagai seorang penjahat yang sakti mandraguna, sehingga tak seorang pun diantara penduduk Arenan berani melawannya. Kesaktiannya pernah dibuktikan, pada suatu hari ia ditangkap secara beramai-ramai kemudian dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Tetapi apa yang terjadi? Pretimasa ternyata hidup kembali, setelah potongan-potongan mayatnya dimasukan ke dalam liang kubur. Sungguh sangat menakutkan. Malah secara membabi buta, Pretimasa terus mengamuk yang menimbulkan lebih banyak korban baik dikalangan anak-anak maupun dewasa, pokoknyatidak pandang bulu.

Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan yang memuncak dikalangan masyarakat desa Arenan. Dikerahkan lagi semua penduduk untuk menangkap dan membinasakan penjahat itu. Melihat keadaan kurang baik, penjahat ulung itu teraksa melarikan diri bersembunyi kedalam sebuah batu yang dikenal dengan “Watu Wedus”. Barulah disini ia merasakan dirinya aman, karena tak seorangpun berani memburunya.

Setelah lama para penduduk berjaga disekitar batu itu kemudian seorang diantara mereka ada yang menemukan siasat. Untuk menangkap Pretimasa tak ada jalan lain kecuali minta bantuan kepada Nyai Adipati (Isteri Adipati Arenan).

Karena dimintai pertolongan, segera Nai Adipati datang mendekati pintu wedus tersebut, membawa nasi bersama lauknya yaitu pindang ikan tambara yang menjadi kegemaran Pretimasa.

Dengan tutur kata yan lemah lembut sebagai tipu muslihat, Nyai Adipati memanggil Saudara kandungnya yang sedang bersembuni didalam watu wedus itu. Semula tidak mau memenuhi panggilan itu, tetapi sesudah diberi tahu bahwa disekitar batu tersebut tak ada seorangpun, maka Pretimasa segera keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua orang bersaudara itu terus saling berpelukan sebagai pelepas rasa rindu.

Terdorong oleh rasa letih dan lapar, segera Pretimasamemakan kiriman nasi bersama pindang ikan tambara dengan lahapnya. Namun sama sekali ia tidak menduga, bahwa ratusan pasang mata sedang mengintai dari balik gerumbulan disekitarnya. Begitulah tatkala Pretimasa tengah menikmati nasi dengan pindang ikan tambaranya, tiba-tiba ratusan orang secara serempak menubruknya. Melihat keadaan berbahaya ini, Pretimasa berusaha menyelamatkan diri masuk kedalam watu wedus kembali. Tetapi ia gagal, karena lubang watu wedus tertutp diduduki oleh Nyai Adipati. Akhirnya secara ramai-ramai gembong penjahat itu dihajar orang banyak yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Sesaat sebelum menemui ajalnya, Pretimasa sempat member pesan (pepali), bahwa karena tidak tahu saudara, maka orang-orang Arenan dikelak kemudian dari keturunannya pada saanya mempunyai cacad “rimang” (penglihatannya kuran jelas). Selain itu orang-orang Arenan yang bertempat tinggal di sebelah barat dan timur kali, dilarang makan pindang ikan tambara. Kalau pesan ini dilanggar menurut Pretimasa, pasti bisa mendatangkan malapetaka. Salah-salah bisa mati, pesan tersebut memang hingga sekarang masih menjadi kepercayaan turun temurun di sementara penduduk desa Arenan. Apakah selamanya pesa itu akan ditaati? Tentunya tidak, karena pesan sorang penjahat.

Akhirnya mayat Pretimasa kembali dipotong-potong dan masing-masing potongan dikubur diberbagai tempat secara terpisah. Diantaranya ada yang dikubur di Arcatapa, Pagedongan, Siwedus, Setana Wangi dan dipekuburan Makam dawa.

Maka habislah riwayat seorang penjahat ulung bernama Pretimasa yang pernah membuat onar penduduk Kadipaten Arenan waktu itu.
BABAD PURBALINGGA (15 ) ; BAMBU KRAMAT
Alkisah pada jaman Kadipaten Wirasaba masih berdiri, disebuah padukuhan di sebelah timur desa Majatengah (sekaang kecamatan Kemangkon) tinggalah seorang lelaki bernama Kiai Gede Buara. Ia tinggal dengan isterinya, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai petani. Tegalan yang dikelolanya bertanah subur, sehingga hasil tanamaannya dapat melimpah ruah, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kecuali isterinya, ikut pula tinggal serumah dengan Kiai Gede Buara ialah seorang pemuda yang sebenarnya bernama Raden Jaka Ketuhu yang semula menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.
Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya. Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede Buara.

Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.
Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaandibatin Kiai Gede Buara, sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.

Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat masuk kedalam kobaran api tersebut. Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu karat.

Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”. Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasny atumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah yang tidak dipungut pajak).
Waktu agama Islam mulai berkembang di pulai Jawa khususnya, maka di wilayah Banyumas ini ada dua mubaligh kakak beradik bernama Akhmad dan Muhammad dengan dua orang pengikutnya masing-masing bernama Bangas dan Bangis.

Dalam usaha mengembangkan agama Islam, mereka mendapat tantangan dan tekanan hebat dari pemerintah kerajaan Majapahit, yang waktu itu kejayaannya sedang mencapai puncak. Seorang senopati Majapahit bernama Ki Sutaraga ditugaskan membendung berkembangnya agama Islam dikawasan lereng Gunung Slamet.

Akibat ancaman tersebut, Akhmad dan Muhammad merasa tidak tahan dan terpaksa melarikan diri ke bersembunyi kedalam Gua Lawa. Disini kedua kakak beradik itu mendapatkan ilham dari Tuhan Yang Maha Esa, agar ganti nama demi keselamatan dan meneruskan perjuangan. Ahmad kemudian ganti nama Taruno, sedangkan Muhamad ganti Taruni. Kedua orang itu lalu keluar dari tempat persembunyian setelah namanya diganti.

Sementara itu tindakan membendung berkembangnya agama Islam terus berlangsung. Setiap orang pemeluk agama Islam ditindas. Dijaman transisi itu belum mengenal kebebasan beragama. Dan dimulut rajalah undang-undang berlaku bagi rakyatnya.
Dalam suasana begini, kedua mubaligh itu terpaksa bergerak dibawah tanah, demi mencapai perjuangannya. Dan penggantian nama itu adalah merupakan suatu keuntungan sebagai usaha menghilangkan jejak.
Karena demikian, baik Ki Sutaraga maupun prajurit-prajurit Majapahit lainnya sama sekali tidak bisa mengenal wajah kedua orang itu. Begitulah mubaligh dijaman peralihan itu mempunyai cara tersendiri dalam mengatur taktik dan strategi perjuangan.

Suatu hari Ki Sutaraga bertemu dengan dua orang yan mengaku diri bernama Taruno dan Taruni. Ditanyakanlah kepada kedua orang itu, dimana Akhmad dan Muhammad berada. Taruno dan Taruni masing-masing mengatakan, bahwa Akhmad dan Muhammad telah mati diterkam harimau. Mendengar jawaban inisenopati Majapahit itu sangat percaya dan merasa bangga. Sungguh menggelikan, padahal kedua orang yang ditanyai itu tidak lain adalah Akhmad dan Muhammad sendiri yang baru keluar dari tempat persembunyiannya.

Kabar tentang musibah ini disampaikan segera Ki Sutaraga kepada prajurit-prajurit Majapahit yang disambut dengan sorak soari tanda gembira. Sebaliknya mendengar sorak sorai itu Bangas dan Bangis merasa dirnya dicemooh. Makin keras suara sorak sorai prajurit-prajurit Majapahit terdengar, semakin panaslah dada Bangas dan Bangis dibakar oleh kemarahan. Tanpa perhitungan untung ruginya, ditantanglah Ki Sutaraga perang tanding. Tetapi yang ditantang sama sekali tidak menanggapi. Karenanya hati Bangas dan Bangis menjadi semakin lebih penasaran. Dan dengan dada penuh kemarahan, tiba-tiba kedua orang itu menyerangnya. Namun Senopati Majapahit itu tak ambil pusing. Malah Ki Sutaraga tetap berdiri bertolak pinggang sambil berkata, bahwa ulah Bangas dan Bangis layaknya seperti binatang saja.

Karena kesaktian Senopati Majapahit ini, ucapannya benar-benar menjadi kenyataan. Bangas dan Bangis secar tiba-tiba berubah wujud menjadi Warak(Badak). Karena inilah, tempat dimana peristiwa itu hingga sekarang disebut desa “Siwarak” termasuk kecamatan Karangreja.

Lenyapnya Bangas dan Bangis ini adalah merupakan suatu korban perjuangan mengembangkan agama Islam. Memang logis, setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Dan pengorbanan biasanya tak sia-sia. Meskipun Bangas dan Bangis lenyap, tetapi agama Islam yang diperjuangkan telah berkembang dengan pesatnya. Bahkan umat Islam yang diperjuangkan telah berkembang dengan pesatnya. Bahkan Islam didaerah Purbalingga hingga sekarang dapat dikategorikan sebagai golongan mayoritas. Walaupun demikian, umat Islam tetap bersikap toleran terhadap penganut-penganut agama lain yang masih termasuk golongan minoritas.
Begitulah asal-usul nama desa Siwarak menurut cerita.

BABAD PURBALINGGA (17) : KIAI WILAH

Didukuh Wilangan termasuk Kec. Kalimanah Purbalingga terdapat makam Kiai Wilah. Kiai Wilah semasa hayatnya adalah seorang Panglima perang dari Kadipaten Pasir Luhur. Bahkan ia juga menantu dari Adipati Basir Luhur Raden Kendadaha.

Menitik bentuk tubuh yang gagah perkasa, dan keberanian luar biasa, Kiai Wilah sering unggul dalam pertempuran. Banyak tanda jasa dan penghargaan yang ia terima.

Suatu hari Adpati Kendadaha menerima surat dari Adipati Bonjok (Banyumas). Maksudnya untuk melamar Puteri Adipati Kendadaha yang telah menjadi isteri Kiai Wilah. Setelah mengerti isi surat itu, segera Kiai Wilah menemui Adipati Bonjok yang dianggap menghinanya.

Dalam pertempuran, kuda Adipati Bonjok Roboh kena tombak Kiai Wilah sehingga menyulitkan tuannya untuk menangkis serangan lawan. Namun demikian, Kiai Wilah sendiri menderita luka berat, sehingga jalannya pincang.

Sedang merasakan betapa sakit pada sekujur tubuhnya, ia mendengar kabar, bahwa jabatannya sebagai Panglima perang akan diganti orang lain. Karena merasa malu, secara diam-diam ia melarikan diri ke Purbalingga bersama anaknya yang bernama Masajeng Lanjar dan menetap di dukuh Wilangan Desa Klapasawit hingga akhir hayatnya.

Makam Kiai Wilah ini tidak jauh dari Makam Masajeng Lanjar. Berdekatan dengan makam Masajeng Lanjar terdapat makam Kiai Yudantaka, kakak dari Kiai Arsantaka.

BABAD PURBALINGGA (18) : KIAI NARASOMA

Semasa hidupnya Kiai Narasoma adalah demang Timbang membawahi desa-desa Timbang (sekarang dukuh Timbang termasuk desa Penambongan), Purbalingga Kidul, Kandanggampang dan Purbalingga Lor.

Tak seorangpun diantara rakyat Timbang yang mengerti dari mana asal usul Kiai Narasoma ini. menurut legenda, nama Narasoma berasal dari perkataan Nara = Orang, Soma atau Suma = Gemar bertapa. Jadi artinya orang yang gemar bertapa.

Ketika mengadakan khajatan mengawinkan puterinya, dirumahnya Kiai Narasoma diadakan pertunjukan wayang kulit. Banyak tamu termasuk Adipati Onje tampak hadir menyaksikan pertujukan itu.

Sesaat hidangan dikeluarkan, suasan tiba-tiba menjadi kacau balau. Pertunjukan dihentikan, Adipati Onje marah-marah, menuduh Kiai Narasoma berusaha membunuhnya dengan jalan membubuhkan racun dalam hidangan yang disuguhkan kepadanya. Belakangan diketahui, dalam nasi yang dihidangkan terdapat bintik-bintik hitam yang ternyata nasi beras hitam.

Namun dengan kerendahan hati Kiai Narasoma tidak mengakuinya, dan merasa tidak akan berbuat jahat terhadap atasannya.

Paginya Kiai Narasoma memanggil semua sanak familinya, untuk diberi pesan. Pesannya, orang-orang Timbang dilarang sampai turun temurun nanggap wayang kulit.

Larangan itu juga dahulu berlaku bagi masyarakat desa-desa tersebut, diatas yang menjadi kekuasaannya. desa-desa yang kena larangan disebut "Bumi Keputihan".

Makam Kiai Narasoma terletak didukuh Pritgantil Purbalingga Wetan dan dikenal dengan nama Makam Narasoma.

BABAD PURBALINGGA (19) :  PERANG JENAR ATAU PERANG MANGKUBUMEN

Pangeran Mangkubuni atau Pangeran Kabanaran adalah adik Sunan Pakubuwana II. Sunan Pakubuwana II pernah berjanji akan menyerahkan sebidang tanah kepada Pangeran Mangkubumi, apabila Pangeran Mangkubumi dapat mendudukan Mas Said. Tetapi janji itu tak pernah ditepati. Akibatnya timbul perselisihan antara Pakubuwana II disatu pihak dengan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said dilain pihak. Belanda ikut campur tangan.

Ketika Pangeran Mangkubumen mulai berkobar, tahun 1749 Sunan Pakubuwono wafat. Sebelum wafat, almarhum sempat menitipkan kerajaan Mataram kepada Kompeni. Kemudian kompeni mengangkat Putera Sunan Pakubuwono II menjadi raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono III, atau Kanjeng Sunan Pakubuwono Senapati Nglanga Ngabdoerahman Sajidin Panatagama Tata Pandita Rasaning Boemi, pada hari Senen pagi bulan Sura, Alip 1675 tahun jawa.

Dalam perang Mangkubumen yang terjadi disebelah barat sungai Bogowonto, pasukan Banyumas dipimpin oleh TumengungYudanegara III (Adipati Banyumas). Sedangkan Dipayuda I, yaitu Ngabehi Karanglewas yang diangkat oleh Susuhunan Pakubuwana II pada hari Jumat Wage tanggal 10 Maulud 1674 Jimahir atau 28 Pebruari tahun 1749 M dan Kiai Arsantaka bertindak sebagai Komandan Kesatuan bawahannya. Mereka berpihak pada Pakubuwana III yang mendapat bantuan bantuan dari kompeni. Pasukan kompeni dibawah pimpinan Majoor dan Kapten Hoetje.

Sementara itu pasukan Mangkubumen dalam meghadapi lawan, telah menggunakan taktik perang gerilya. Dengan demikian mereka berhasil menjebak serta membinasakan Pakubuwana III dan kompeni yang berjumlah besar. Majoor de Clerx, Kapten Hoetje dan Dipayuda I pada tanggal 12 Desember 1751(Minggu legi 22 Sura Jumawal 1677 Jawa) tewas dalam pertempuran itu. Jenazah Dipayuda I hilang. Sedangkan 40 orang serdadu Belanda (kompeni) yang bersembunyi di desa Ganggang ditawan. Pangeran Kabanaran beristirahat (mesanggrah) di Cengkawak.

Melihat kenyataan ini pembesar-pembesar VOC cemas. Mereka segera membujuk Pangeran Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu ternyata berhasil. Tahun 1755 ditandatangani perjanjian Gianti yang isinya: Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua. Mataram Barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi dan Mataram timur tetap dikuasai Sunan Pakubuwana III.

Kemudian Pangeran Mangkubumi bertahta menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai patihnyadiangkat Raden Tumenggung Yudanegara III, yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Pengangkatan ini sebenarnya bersifat politis, karena meskipun Tumenggung Yudanegara III semula dianggap sebagai lawan, namun ia mempunyai pengaruh sangat besar dikalangan masyarakat, khususnya masyarakat Banyumas. Kerajaan Mataram barat disebut Ngayoyakarta Hadiningrat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jogjakarta.

Mas Said masih terus melanjutkan perlawanan. Tahun 1757 ia terpaksa mengadakan perdamaian. Dlam perjanjian Salatiga ditetapkan, bahwa daerah Mataram Timur (Surakarta) dipecah menjadi dua. Sebagian tetap menjadi kekuasaan Sunan Pakubuwana III, sebagian lagi diserahkan kepada Mas Said.
Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara, dan daerahnya disebut Mangknegaraan.

Sejarah Purbalingga (20) : KIAI ARSANTAKA

Setelah lama hidup membujang, Adipati Onje Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan seorang puteri dari Arenan. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.

Dari perkawinan ini ia menurunkan Kiai Yudantaka, dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka empunyai kegemaran bertani, ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.

Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran (Kecamatan Bawang, Banjarnegara) lalu diambil anak angkat oleh Kiai Rindik yang semula bernama Kiai Wanakusuma.

Tahun 1740-1760 Kiai Asantaka mejabat demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II), Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.

Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:
1.      Kiai Arsamenggala,
2.      Kiai Dipayuda Gabug,
3.      Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
4.      Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,
5.      Nyai Pancaprana

Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih Purbalingga.

Pada akhir hayatnya Kiai Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran tersebut diatas. Tetapi atas pertimbangan ahli warisnya batu nisan kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.

Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan Pagendolan masih dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari, Purbalingga). Ngabehi Karanglewas adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728.

Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya.

Dalam pertempuran yang terjasi disebelahbarat sungai Bogowonto, Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur, jenazahnya hilang. Berkat ketekunan dan keberanian Kiai Arsantaka jenazah tersebut berhasil ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.

Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsyuda diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.

Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758). Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Jabatannya dilimpahkan kepada Kiai Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Maka sampai disinilah keturunan Banyumas dan dimulainya keturunan Kiai Arsantaka yang menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga.

PUSAT PEMERINTAHAN PURBALINGGA BERDIRI : BUPATI PERTAMA, R.T. DIPAYUDA III

Setelah Perang Mangkubumen berakhir, tahun 1755 berdiri Keraton Jogjakarta dan Raden Tumenggung Yudanegara III diangkat menjadi patihnya.

Atas petunjuk dan bimbingan Kiai Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di  Karanglewas dipindahkan di desa Purbalingga, suatu desa yang dianggap subur dan strategis.

Sejak saat itu Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung dibawah Pemerintahan pusat di Surakarta.

Di Purbalingga tanggal 23 Juli 1759, dibangun alun-alun dan rumah kadipaten serta segala sesuatunya yang berkaitan dengan pusat Pemerintahan. Menurut perhitungan Kantor Kesantanan Sidikoro, Baluwerti, Keraton Surakarta,tanggal berdirinya rumah Kadipaten itu adalah jatuh pada hari Senin Legi 26 Selo tahun Ehe 1684 (tahun jawa).

Bupati pertama Purbalingga adalah Raden Tumenggung Dipayuda III, memerintah tahun 1759-1787. Dimuka telah diterngkan bahwa Raden Tumenggung Dipayuda III adalah Putera Kiai Arsantaka yang bernama Kiai Arsayuda. Dari perkawinan dengan puteri  R.T Yudanegara III (Padmi) R.T. Dipayuda III menurunkan:
1.  Nyai Citrawangsa,
2.  Masajeng Trunawijaya.

Sedangkan dengan Nyai Tegalpinang (Selir) Raden Tumenggung Dipayuda III menurunkan:
1. R.T. Dipakusuma I, Bupati Purbalingga Kedua, 
2. Raden Dipawikrama Ngabehi Dayeuhluhur, 
3. Raden Kertosono, Patih Purbalingga, 
4.  Raden Nganten Mertakusuma Kemranggon, dan
5. Kiai Kertadikrama, Demang Purbalingga.

Bupati Purbalingga 2 & 3

BUPATI KEDUA, R.T. DIPAKUSUMA I
Karena dari admi R.T. Dipayuda III tidak menurunkan putera laki-laki, maka sebagai penggantiny diangkat putera dari Nyai Tegalpingen (selir) lalu bergelar Raden Tumenggung Dipakusuma I sebagai Bupati Purbalingga kedua tahun 1792-1811.

Sebelum R.T. Dipayuda III menyerahkan jabtab Bupati kepada penggantinya R.T. Dipakusuma I, antara tahun 1787-1792 pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Raden Nagabehi Yudakusuma I ana dari R.T. Yudanegara IV, berpangkat Ngabehi (Bupati Anom).

BUPATI KETIGA, R.T. BRATASUDIRA
Setelah R.T. Dipakusuma I, jabatan Bupati Purbalingga kemudian diserahkan kepada putera sulungnya bernama Mas Bratasudira (Danakusuma) yang memerintah tahun 1811-1831.

PERANG BITING

Perang Biting terjadi didesa-desa Kaligondang, Selanegara, Selakambang, dan Cilapar, antara Pasukan Diponegoro melawan kompeni Belanda, berkobar semasa Raden Tumenggung Bratasudira menjabat sebagai Bupati Purbalingga ketiga.

Tetapi kenyataannya, kompeni telah memperalat orang-orang pribumi untuk menhadapi lawannya.

Selaku Bupati yang berpihak kepada Belanda, karena Kabupaten Purbalingga dibawah pemerintahan Surakarta, Raden Tumenggung Bratasudira memerintahkan rakyatnya untuk membuat jagang (lubang perlindungan berbentuk melingkar) di desa-desa yag menjadi ajang pertempuran itu. Semua pemuda usia antara 18-30 tahun diwajibkan ikut ambil bagian dalam menghadapi pasukan Dipopegoro itu.

Bertindak sebagai komandan pasukan Purbalingga ini adalah Raden TARUNAKUSUMA (adik kandung R.T. Bratasudira). Kecuali bantuan dari kompeni, ia dibantu juga oleh:

1. Adipati Lanjar (Banyumas),
2. Adipati Cakranegara (Banyumas),
3. Adipati Panolih (Sokaraja),
4. Adipati Alang-Alang Bundel (Banjaran),
5. Adipati Karanglewas (Kutasari),
6. Orang Cina totok bernama Tho A Tjan dan Gan Tiong Sun yang masing-masing berasal dari Bayeman dan
    Wiradesa.

Tho A Tjan terkenal dengan sebutan A Tjan, sedangkan Gan Tiong Sun dinamakan juga Gentong  Lontong.
Pasukan Diponegoro dipimpin oleh Tubagus Buang asal Banten. Ia pun mendapat bantuan dari :
1. Bupati Banjarnegara dengan Putera,
2. Adipati Ambal (Kebumen), dengan Putera,
3. Ki Sura Menggala (Binorong, Banjarnegara),
4. Ki Singa Yuda (dari Singamerto), dan
5. Ki Purwo Suci dari Jogjakarta.

Sungai Lebak dijadikan garis demarkasi. Pihak Belanda disebelah barat, dan lawannya diseberang timur sungai.

Kedua belah pihak bertempur mati-matian dan semrawut. Pernah pada suatu malam terjadi pertempuran dipertigaan jalan. Karena suasan gelap, maka kedua belah pihak berperang secara membabi buta. Tidak kenal mana kawan dan mana lawan. Akibatnya banyak korban mati penasaran. Adipati Lanjar melarikan diri. Sabuk (ikat pinggang) yang dipakainya jatuh disuatu tanjakan jalan. Akhirnya ia ia sendiri jatuh tersungkar (kesumpet) disebuah sungai, hingga menemui ajalnya. Sungai itu hingga sekarang dinamakan kali Sumpet.

Korban jiwa dikedua belah pihak tidak sedikit jumlahnya. Sebagian besar dikalangan mereka terdiri dari orang-orang pribumi. Memang tragis, mereka telah menjadi korban akibat politik devide et impera Belanda yang tak berperikemanusiaan.

Tempat dimana ertempuran semrawut itu terjadi, hingga sekarang dinamakan Gembrungan. Dan tanjakan dimana sabuk Adipati Lanjar hilang disebut tanjakan Sabuk. Sebagian masyarakat masih menganggap, bahwa tanjakan Sabuk tersebut merupakan tempat pengalapan (sering terjadi kecelakaan).

Bersamaan prajurit-prajurit lainnya, Tubagus Buang dalam pertempuran itu pun gugur. Jenazahnya dimakamkan didesa Kaligondang. Namanya makam BANTENAN. Mungkin nama ini ada kaitannya karena ia berasal dari Banten. Sementara itu prajurit-prajurit Diponegoro lainnya yang gugur dimakamkan dipekuburan Priyayi desa Kaligondang.

Selain Adipati Lanjar dipihak Belanda pun kehilangan Gan Tiong Sun yang merupakan prajurit inti. Makam Gan Tiong Sn disebut pesarehan Gendung Kala Ganaceng. Lokasinya di Blok Biting desa Kaligondang. Biting dari asal kata beteng, artinya tempat perlindungan dalam perang.

Pertempuran berkahirsetelah ada berita, bahwa Pangeran Biponegoro ditangkap dan diasingka Belanda. Prajurit-prajurit kedua belah pihak telah terlanjur berantakan. Yan masih hidup mengungsi atau pulang keasalnya masing-masing. Ki Purwa Suci  menetap di desa Selakambang hingga akhir hayatnya. Makam Ki Purwa Suci di desa Selakambang itu oleh sebagian masyarakat masih diangap keramat.

Sesuai perang Diponegoro semua prajurit Purbalingga yang selamat dikumpulkan. Mereka diberi hadiah dan penghargaan sebagai tanda jasa dari Bupati. Tha A Tjan mendapat sebidang tanah disebelah selatan Bojongsari yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Kutabaru.

PURBALINGGA SESUDAH PERANG BITING

Bulan Nopember 1831 aau Suro 1760, Jenderal De Kock berkoperensi di Sokaraja, dengan para Adipati, Ngabehi dan Punggawa-Punggawa yang telah berjasa dalam perang. De Kock mengumumkan, bahwa wilayah Banyumas mulai saat itu sudah sepenuhnya menjadi kekuasaan Belanda, tidak lagi dibawah pemerintahan Surakarta. Banyumas ditetapkan menjadi suatu karisidenan dan dibagi lima Wilayah Kabupaten. Para pegawai dan pemberian pangkat kepada mereka ditetapkan oleh Belanda.

Sebagai Residen pertama Banyumas adalah tuan Stuurler. Kelima Kabupaten tersebut adalah:

1. Kabupaten Banyumas dengan Bupatinya: R.A. Cakrawerdana I, dipensiun diganti Putranda R.A. Cakranegara I,
2. Kabupaten Purbalingga dengan Bupatinya: R.M.A Brotosudiro, dipensiun diganti adiknya R.M.T Dipakusuma II, Asisten Residen Tuan Tak.
3. Kabupaten Purwokerto dengan Bupatinya R.T. Mintareja, putera dari R.A. Bratadiningrat. Semula Kabupatennya di Ajibarang. Asisten Residennya tuan Varkevisser.
4. Kabupaten Banjarnegara dengan Bupatinya R.T. Dipayuda. Semula letak Kabupaten di Banjarpetambakan, kemudian pindah disebelah selatan sungai Serayu desa Kutawaringin (Banjarnegara). Asisten Residen tuan Van Geul Meester.
5. Kaupaten Majenang dengan Bupatinya R.T. Prawiranegara (Kota Cilacap belum lahir). Sisten Residen dirangkap dengan Kabupaten Ajibarang yaitu tuan Varkevisser.

Pengangkatan Adipati oleh Pemerintah Belanda diambilkan hanya dari tedak turun Adipati naluri system keturunan.
Seperti halnya didaerah lain, Belanda di Purbalinggapun membangun gedung tempat kediaman Asisten Residen. Letaknya di desa Bancar, sekarang dipergunakan sebagai markas Kodim 0702 Purbalingga. Sedangkan untuk kediaman Bupati, tetap menggunakan rumah Kabupaten semula yan dibangun oleh Ngabehi Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga tahun 1757-1787.

Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo; Pemerintah DATI II Purbalingga; 1984


No comments:

Post a Comment