11 Jun 2016

SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579) Bag 4


Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa).  Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan  Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. 
 Tumenggung  Jagabaya  beserta  60  anggota  pasukannya  yang  dikirimkan  dari  Pakuan  ke  Cirebon,  tidak  mengetahui  kehadiran  pasukan  Demak  di  sana.  Jagabaya  tak  berdaya  menghadapi  pasukan  gabungan  Cirebon-Demak  yang  jumlahnya  sangat  besar.  Akhirnya  Jagabaya menghamba dan masuk Islam.  Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk  menyerang  Cirebon.  Akan  tetapi  pengiriman  



pasukan  itu  dapat  dicegah  oleh  Purohita  (pendeta  tertinggi)  keraton  Ki  Purwa  Galih.  [Cirebon  adalah  daerah  warisan  Cakrabuana Walangsungsang)  dari  mertuanya  (Ki  Danusela)  dan  daerah  sekitarnya  diwarisi  dari  kakeknya  Ki  Gedeng  Tapa  (Ayah  Subanglarang).  Cakrabuana  sendiri  dinobatkan  oleh  Sri  Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. 
Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka  alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]. 
Demikianlah  situasi  yang  dihadapi  Sri  Baduga  pada  awal  masa  pemerintahannya.  Dapat  dimaklumi  kenapa  ia  mencurahkan  perhatian  kepada  pembinaan  agama,  pembuatan  parit  pertahanan,  memperkuat  angkatan  perang,  membuat  jalan  dan  menyusun  PAGELARAN  (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.  Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. 
Raja  sendiri  memiliki  pasukan  gajah  sebanyak  40  ekor.  Di  laut,  Pajajaran  hanya  memiliki  enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan  antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].  Keadaan  makin  tegang  ketika  hubungan  Demak-Cirebon  makin  dikukuhkan  dengan  perkawinan  putera-puteri  dari  kedua  belah  pihak.  Ada  empat  pasangan  yang  dijodohkan,  yaitu : 
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi). 
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun. 
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). 
Perkawinan Sabrang  Lor alias Yunus  Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai 
Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara  berada di Cirebon. 
 Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun  1512,  ia  mengutus  putera  mahkota  Surawisesa  menghubungi  Panglima  Portugis  Alfonsi  d’Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja me rebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya  Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran  Cakrabuana  dan  Susuhunan  Jati  (Syarif  Hidayat)  tetap  menghormati  Sri  Baduga  karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran  dengan  Cirebon  tidak  berkembang  ke  arah  ketegangan  yang  melumpuhkan  sektor-sektor  pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,  bukan  terhadap  Kerajaan  Cirebon.  Terhadap  Islam,  ia  sendiri  tidak  membencinya  karena  salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya —   Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara —  diizinkan sejak kecil  mengikuti agama ibunya (Islam).  Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak  dapat  mengembangkan  keadaan  dalam  negerinya.  Demikianlah  pemerintahan  Sri  Baduga  dilukiskan  sebagai  jaman  kesejahteraan  (Carita  Parahiyangan).  Tome  Pires  ikut  mencatat  kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar ―T he Kingdom of Sunda is justly governed;  they true (Kerajaan diperintah adil; adalah  -orang  jujur).  Juga  diberitakan  kegiatan  perdagangan  Sunda  dengan  Malaka  sampai  ke  kepulauan  Maladewa  (Maladiven).  Jumlah  merica  bisa  mencapai  1000  bahar  (1  bahar  =  3  pikul)  setahun,  bahkan  hasil  tammarin  (asem)  dikatakannya  cukup  untuk  mengisi  muatan  1000  kapal. 
Naskah  Kitab  Waruga  Jagat  dari  Sumedang  dan  Pancakaki  Masalah  karuhun  Kabeh  dari  Ciamis  yang  ditulis  dalam  abad  ke-18  dalam  bahasa  Jawa  dan  huruf  Arab-pegon  masih  menyebut  masa  pemerintahan  Sri  Baduga  ini  dengan  masa  gemuh  Pakuan  (kemakmuran  Pakuan)  sehingga  tak  mengherankan  bila  hanya  Sri  Baduga  yang  kemudian  diabadikan  kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran. 
Sri  Baduga  Maharaja  alias  Prabu  Siliwangi  yang  dalam  Prasasti  Tembaga  Kebantenan  disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 –  1521). Ia disebut  secara  anumerta  Sang  Lumahing  (Sang  Mokteng)  Rancamaya  karena  ia  dipusarakan  di  Rancamaya. 
Melihat itu, jelas, bagaimana Rancamaya —  terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota  Bogor memiliki khusus orang Rancamaya mata  yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno  dengan pelataran berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun  bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas, patung badak setinggi  kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin. 
 Dewasa ini seluruh situs sudah ―dihancurkan orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon - pohonannya  ditebang  dan  makam  kuno  itu  diberi  saung.  Di  dalamnya  sudah  bertambah  sebuah  kuburan  baru,  lalu  makam  kunonya  diganti  dengan  bata  pelesteran,  ditambah  bak  kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai  makam  Embah  Punjung  ini  mungkin  sudah  dipopulerkan  orang  sebagai  makam  wali.  Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di  Kebun Raya yang ―dijual orang  sebagai ―makam Raja Galuh.  
Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan  kemudian  berubah  menjadi  Rancamaya.  Akan  tetapi,  menurut  naskah  kuno,  penamaannya  malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada  prasasti). (Sangsakerta mengandung kolam. Sundamenyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang   sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.  Bila  diteliti  keadaan  sawah  di  Rancamaya,  dapat  diperkirakan  bahwa  dulu  telaga  itu  dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama  yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola  Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit. 
Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit  itu hampir ―gersang dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti ―katel (wajan)   terbalik.  Bukit-bukit  di  sekitarnya  tampak  subur.  Badigul  hanya  ditumbuhi  jenis  rumput  tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu ―dikerok sampai mencapai bentuk parabola. Akibat  pengerokan itu tanah suburnya habis. 
Badigul waktu dijadikan  kit (bukit yaitu  tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang = tabur bunga). Kemungkinan yang  dimaksud dalam ―rajah Waruga Pakuan dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit  Badigul ini. 

Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja  beserta  para  pembesar  Tarumanagara  selalu  melakukan  upacara  mandi  suci  di  Gangganadi  (Setu  Gangga)  yang  terletak  dalam  istana  Kerajaan  Indraprahasta  (di  Cire  irang).  Setelah  bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.  Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan  gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.  
2. Surawisesa (1521 –  1535) 
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga  cucu Susuktunggal). dipuji Carita dengan ―kasuran 
(perwira), ―kadiran (perkasa) dan ―kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia  melakukan  15  kali  pertempuran.  Pujian  penulis  Carita  Parahiyangan  memang  berkaitan  dengan hal ini.  Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus  ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke  Malaka  dua  kali  (1512  dan  1521).  Hasil  kunjungan  pertama  adalah  kunjungan  penjajakan  pihak  Portugis  pada  tahun  1513  yang  diikuti  oleh  Tome  Pires,  sedangkan  hasil  kunjungan  yang  kedua  adalah  kedatangan  utusan  Portugis  yang  dipimpin  oleh  Hendrik  de  Leme  (ipar  Alfonso)  ke  Ibukota  Pakuan.  Dalam  kunjungan  itu  disepakati  persetujuan  antara  Pajajaran  dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. 
Dari  perjanjian  ini  dibuat  tulisan  rangkap  dua,  lalu  masing-masing  pihak  memegang  satu)  Menurut  Soekanto  (1956)  perjanjian  itu  ditandatangai  21  Agustus  1522.  Ten  Dam  menganggap  bahwa  perjanjian  itu  hanya  lisan.  Namun,  sumber  Portugis  yang  kemudian  dikutip menyebutkan deze werd geschrift in  dubbel, waarvan elke partij een behield.Dalam  perjanjian  itu  disepakati  bahwa  Portugis  akan  mendirikan  benteng  di  Banten  dan  Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar  dengan  barang-barang  keperluan  yang  diminta  oleh  pihak  Sunda.  Kemudian  pada  saat  benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk  ditukarkan dengan muatan sebanyak dua ―costumodos (kurang lebih 351 kuintal).  
Perjanjian  Pajajaran  –   Portugis  sangat  mencemaskan  Trenggana,  Sultan  Demak  III.  Selat  Malaka,  pintu  masuk  perairan  Nusantara  sebelah  utara  sudah  dikuasai  Portugis  yang  berkedudukan  di  Malaka  dan  Pasai.  Bila  Selat  Sunda  yang  menjadi  pintu  masuk  perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat  nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di  bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. 
[Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun  menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah  menjadi  menantu  Raden  Patah  sekaligus  menantu  Susuhunan  Jati  Cirebon.  Dari  segi  kekerabatan,  Fadillah  masih  terhitung  keponakan  Susuhunan  Jati  karena  buyutnya  Barkta  Zainal  Abidin  adalah  adik  Nurul  Amin,  kakek  Susuhunan  Jati  dari  pihak  ayah.  Selain  itu  Fadillah  masih  terhitung  cucu  Sunan  Ampel  (Ali  Rakhmatullah)  sebab  buyutnya  adalah  kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden  Patah (Sultan Demak I). 
Barros  menyebut  Fadillah  dengan  Faletehan.  Ini  barangkali  lafal  orang  Portugis  untuk  Fadillah  Khan.  Tome  Pinto  menyebutnya  Tagaril  untuk  Ki  Fadil  (julukan  Fadillah  Khan  sehari-hari). 
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase)  terletak  di  puncak  Gunung  Sembung  berdampingan  (di  sebelah  timurnya)  dengan  makam  Susushunan  Jati.  Hoesein  Djajaningrat  (1913)  menganggap  Fadillah  identik  dengan  Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan 
Sanusi  Pane  (1950).  Carita  Parahiyangan  menyebut  Fadillah  dengan  Arya  Burah]  Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang.  Sasaran  pertama  adalah  Banten,  pintu  masuk  Selat  Sunda.  Kedatangan  pasukan  ini  telah  didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para  pengikutnya.  Kedatangan  pasukan  Fadillah  menyebabkan  pasukan  Banten  terdesak.  Bupati  Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.  Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).  Setahun  kemudian,  Fadillah  bersama  1452  orang  pasukannya  menyerang  dan  merebut  pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas  di  pelabuhan  gugur.  Pasukan  bantuan  dari  Pakuan  pun  dapat  dipukul  mundur.  Keunggulan  pasukan  Fadillah  terletak  pada  penggunaan  meriam  yang  justru  tidak  dimiliki  oleh  Laskar  Pajajaran. 
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng  diangkat  menjadi  Gubernur  Goa  di  India.  Keberangkatan  ke  Sunda  dipersiapkan  dari  Goa  dengan  6  buah  kapal.  Galiun  yang  dinaiki  De  Sa  dan  berisi  peralatan  untuk  membangun  benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba  di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi  ke  Sunda  bertolak  dari  Malaka.  Mula-mula  menuju  Banten,  akan  tetapi  karena  Banten  sudah  dikuasai  Hasanudin,  perjalanan  dilanjutkan  ke  Pelabuhan  Kalapa.  Di  Muara  Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527  dan memberikan nama  kepada Cisadane ―Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal  brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.  Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan  menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang  banyak,  kapal  Portugis  ini  berhasil  meloloskan  diri  ke  Pasai.  Tahun  1529  Portugis  menyiapkan  8  buah  kapal  untuk  melakukan  serangan  balasan,  akan  tetapi  karena  peristiwa  1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah  menuju Pedu.  

No comments:

Post a Comment