Kesenjangan antara
pendapat orang Sunda
dengan kenyataan sejarah
seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran
Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara,
menganggap bahwa tokoh
Prabu Wangi adalah
Maharaja Linggabuana yang
gugur di Bubat, penggantinya bukan Baduga Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut
naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah,
orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera
Wastu Kancana (Prabu
Anggalarang). Tetapi dalam
Carita Parahiyangan disebutkan Niskala Kancana adalah Prabu
Mengapa Dewa Niskala
(ayah Sri Baduga)
dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. hubungan tokoh Baduga penerus dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. hubungan tokoh Baduga penerus dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan
demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap
sebagai ―silih‖ (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). dalam kekuasaan oleh pujangga
yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian
generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu
Kancana.Adakah diantara rekan-rekan
yang bisa bercerita
lebih jauh tentang
peritiwa Bubat? Saya hanya
dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.:
―Perang
antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang
ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah
Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan
Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan,
yaitu dengan menjodohkan
Dyah Pitaloka dengan
Maharaja Hayamwuruk. Nah
Rom an Kerajaan Sunda
ini di gempur
oleh pasukan Mahapatih
Gajah Mada yang
menyebabkan semua pasukan
Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan
Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang‖.
Ada sebuah
pustaka yang bisa
dijadikan rujukan, Guguritan
Sunda, yang Mengisahkan
gejolak sosial dan
pecahnya perang di
Desa Bubat antara
Kerajaan Majapahit dengan
Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih
bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya
ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang
tinggal di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman
mah masih gelap — belum
diketahui).
Proses kepindahan
isteri Ratu Pakuan
(Sri Baduga) ke
Pakuan terekam oleh
pujangga bernama Kai Raga di
Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad
ke-18. Naskah itu
dapat ditemukan pada
Koropak 410 .
Isinya adalah sebagai
berikut (terjemahannya
saja):
Tersebutlah
Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur halaman cahaya
putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas
permata rumah berukir
lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup. Bergerak
barisan depan disusul
yang kemudian teduh
dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan
tutup yang diukir
kotak jati bersudut
bulatan emas tempat
sirih nampan perak bertiang
gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan.
Bergerak tandu
kencana beratap cemara
gading bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang
langkahnya terkedip sambil
menoleh ibarat semut,
rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut
beralih.
Bergerak
seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi
di belakang pembawa
kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas
kiri-kanan kidang- kidangan emas
di tengah siapa diusun di singa barong.
Bergerak
yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi. Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah
Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih,
putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan
bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.Tindakan pertama
yang diambil oleh
Sri Baduga setelah
resmi dinobatkan jadi
raja adalah menunaikan
amanat dari kakeknya
(Wastu Kancana) yang
disampaikan melalui ayahnya
(Ningrat Kancana) ketika
ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini
bisa ditemukan pada
salah satu prasasti
peninggalan Sri Baduga
di Kebantenan. Isinya
sebagai berikut (artinya
saja):
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun
kepada Rahyang Ningrat
Kancana, maka selanjutnya
kepada Susuhunan sekarang
di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di
Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga
ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan ―dasa‖, ―calagra‖, ―kapas timbang‖, dan ―pare dongdang‖. Maka diperintahkan
kepada para petugas
muara agar jangan
memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa. Dengan di
disebut (ibukota) Jayagiri Sunda Penduduk kedua ini dari macam yaitu (pajak perorangan), ―calagra‖ (pajak tenaga
kolektif), ―kapas timbang‖ (kapas 10 pikul) dan ―pare dondang‖ (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, ― upeti‖, ―panggeureus reuma‖.
Dalam koropak
406 disebutkan bahwa
dari daerah Kandang
Wesi (sekarang Bungbulang,
Garut) harus membawa ―kapas sapuluh carangka‖ (10 carangka =
10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma,
1 caeng timbang)
sebagai upeti ke
Pakuan tiap tahun.
Kapas termasuk upeti.
Jadi tidak dikenakan
kepada rakyat secara
perorangan, melainkan kepada
penguasa setempat.
―Pare
dondang‖ disebut
―panggeres reuma‖. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma - cuma tanpa
usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang)
di bekas
ladang setelah dipanen
dan kemudian ditinggalkan
karena petani membuka
ladang baru, menjadi hak raja
atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti ―tempat persegi yang iberi
tali atau tangkai
berlubang untuk memasukan
pikulan. Dondang harus
selalu digotong. Karena
bertali atau bertangkai,
waktu digotong selalu sehingga ―dondang‖ Dondang khusus
untuk membawa barang antaran pada
selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, ―pare dongdang‖ atau ―penggeres reuma‖ ini lebih
bersifat barang antaran. Pajak yang
benar-benar pajak dalam ―dasa‖ ―calagra‖ Majapahit disebut ―walaghara =
pasukan kerja bakti). Tugas -tugas yang harus dilaksanakan untuk
kepentingan raja diantaranya
: menangkap ikan,
berburu, memelihara saluran
air (ngikis), bekerja di ladang
atau di ―serang ageung‖ (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak
630 disebutkan tani di (petani
kepada Wado atau wadwa ialah prajurit
kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem
semacam ini memanfaatkanna untuk ―rodi‖. Bentuk dasa diubah menjadi
―Heerendiensten‖ (bekerja di
tanah milik penguasa
atau pembesar). Calagara
diubah menjadi―Algemeenediensten‖ umum)
―Campongdiesnten‖ Kampung) menyangkut kepentingan
umum, seperti pemeliharaan
saluran air, jalan,
rumah jada dan keamanan.
Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan dan ―Preangerstelsel‖ ―
Cultuurstelsel‖ keduanya sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak
tenaga ini.
a.
Carita Parahiyangan.
Dalam
sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
―Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang
lor kidul kulon wetan kena kreta rasa.
Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa‖. (Ajaran dari
leluhur dijunjung tinggi
sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik
berupa laskar maupun penyakit
batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama). Dari Naskah
ini dapat diketahui,
bahwa pada saat
itu telah banyak
Rakyat Pajajaran yang beralih
agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut ―loba‖ (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang
ada, lalu mencari yang baru.
b.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini
menceritakan, bahwa pada
tanggal 12 bagian
terang bulan Caitra
tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman
upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun
ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara
Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana)
dan menjadi raja
merdeka di Pajajaran
di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
No comments:
Post a Comment