11 Jun 2016

SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579) Bag 3

Kesenjangan  antara  pendapat  orang  Sunda  dengan  kenyataan  sejarah  seperti  yang  diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah  Nusantara,  menganggap  bahwa  tokoh  Prabu  Wangi  adalah  Maharaja  Linggabuana  yang  gugur  di  Bubat, penggantinya bukan Baduga  Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu  Wangisutah). 
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi  sebagai  putera  Wastu  Kancana  (Prabu  Anggalarang).  Tetapi  dalam  Carita  Parahiyangan  disebutkan Niskala Kancana adalah Prabu Mengapa  Dewa  Niskala  (ayah  Sri  Baduga)  



dilewat?  Ini  disebabkan  Dewa  Niskala  hanya  menjadi  penguasa  Galuh. hubungan tokoh Baduga penerus dari  Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara  II/4, ayah dan mertua Sri  Baduga  (Dewa  Niskala  dan  Susuktunggal)  hanya  bergelar  PRABU,  sedangkan  Jayadewata  bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh). 
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai  ―silih (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu  Wangisutah). dalam kekuasaan oleh pujangga yang  kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga  Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.Adakah  diantara  rekan-rekan  yang  bisa  bercerita  lebih  jauh  tentang  peritiwa  Bubat?  Saya  hanya dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.: 
―Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini  dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat  itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan,  yaitu  dengan  menjodohkan  Dyah  Pitaloka  dengan  Maharaja  Hayamwuruk.  Nah  Rom an  Kerajaan  Sunda  ini  di  gempur  oleh  pasukan  Mahapatih  Gajah  Mada  yang  menyebabkan  semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka  hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang.  
Ada  sebuah  pustaka  yang  bisa  dijadikan  rujukan,  Guguritan  Sunda,  yang  Mengisahkan  gejolak  sosial  dan  pecahnya  perang  di  Desa  Bubat  antara  Kerajaan  Majapahit  dengan  Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh  I  Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang  tinggal di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman mah masih gelap —   belum diketahui). 
 Proses  kepindahan  isteri  Ratu  Pakuan  (Sri  Baduga)  ke  Pakuan  terekam  oleh  pujangga  bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a pantun dan  dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad  ke-18.  Naskah  itu  dapat  ditemukan  pada  Koropak  410  .  Isinya  adalah  sebagai  berikut  (terjemahannya saja): 
Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu  yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya  putih  induk  permata  cahaya  datar  namanya  keraton  berseri  emas  permata  rumah  berukir  lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup.  Bergerak  barisan  depan  disusul  yang  kemudian  teduh  dalam  ikatan  dijunjung  bakul  kue  dengan  tutup  yang  diukir  kotak  jati  bersudut  bulatan  emas  tempat  sirih  nampan  perak  bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan. 
Bergerak  tandu  kencana  beratap  cemara  gading  bertiang  emas  bernama  lingkaran  langit  berpuncak permata indah ditatahkan pada watang  yang bercungap singa-singaan di sebelah  kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan  payung saberilen berumbai potongan benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang  langkahnya  terkedip  sambil  menoleh  ibarat  semut,  rukun  dengan  saudaranya  tingkahnya  seperti semut beralih. 
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa  gendi  di  belakang  pembawa  kandaga  di  depan  dan  ayam-ayaman  emas  kiri-kanan  kidang- kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong. 
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.  Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang  pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia  pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.Tindakan  pertama  yang  diambil  oleh  Sri  Baduga  setelah  resmi  dinobatkan  jadi  raja  adalah  menunaikan  amanat  dari  kakeknya  (Wastu  Kancana)  yang  disampaikan  melalui  ayahnya  (Ningrat  Kancana)  ketika  ia  masih  menjadi  mangkubumi  di  Kawali.  Isi  pesan  ini  bisa  ditemukan  pada  salah  satu  prasasti  peninggalan  Sri  Baduga  di  Kebantenan.  Isinya  sebagai  berikut (artinya saja): 
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada  Rahyang  Ningrat  Kancana,  maka  selanjutnya  kepada  Susuhunan  sekarang  di  Pakuan  Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. 

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan ―dasa, ―calagra, ―kapas  timbang, dan ―pare dongdang.   Maka  diperintahkan  kepada  para  petugas  muara  agar  jangan  memungut  bea.  Karena  merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang  tegas mengamalkan peraturan dewa.  Dengan di disebut (ibukota) Jayagiri Sunda  Penduduk  kedua ini dari macam yaitu (pajak  perorangan), ―calagra (pajak tenaga kolektif), ―kapas timbang (kapas 10 pikul) dan ―pare  dondang (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,  ― upeti, ―panggeureus reuma.  
Dalam  koropak  406  disebutkan  bahwa  dari  daerah  Kandang  Wesi  (sekarang  Bungbulang,  Garut) harus membawa ―kapas sapuluh carangka (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau  menurut  Coolsma,  1  caeng  timbang)  sebagai  upeti  ke  Pakuan  tiap  tahun.  Kapas  termasuk  upeti.  Jadi  tidak  dikenakan  kepada  rakyat  secara  perorangan,  melainkan  kepada  penguasa  setempat. 
―Pare dondang disebut ―panggeres reuma. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma - cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di  bekas  ladang  setelah  dipanen  dan  kemudian  ditinggalkan  karena  petani  membuka  ladang  baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti  ―tempat persegi yang  iberi  tali  atau  tangkai  berlubang  untuk  memasukan  pikulan.  Dondang  harus  selalu  digotong.  Karena  bertali  atau  bertangkai,  waktu  digotong  selalu sehingga ―dondang Dondang khusus untuk  membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, ―pare dongdang  atau ―penggeres reuma ini lebih bersifat barang antaran.   Pajak  yang  benar-benar pajak dalam ―dasa ―calagra  Majapahit disebut ―walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas -tugas yang harus dilaksanakan  untuk  kepentingan  raja  diantaranya  :  menangkap  ikan,  berburu,  memelihara  saluran  air  (ngikis), bekerja di ladang atau di ―serang ageung (ladang kerajaan yang hasil padinya di  peruntukkan bagi upacara resmi). 

Dalam  kropak  630  disebutkan tani di (petani kepada  Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara  ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem  semacam ini memanfaatkanna untuk ―rodi. Bentuk dasa diubah menjadi ―Heerendiensten  (bekerja  di  tanah  milik  penguasa  atau  pembesar).  Calagara  diubah  menjadi―Algemeenediensten umum) ―Campongdiesnten Kampung)  menyangkut  kepentingan  umum,  seperti  pemeliharaan  saluran  air,  jalan,  rumah  jada  dan  keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan  dengan dan ―Preangerstelsel
Cultuurstelsel keduanya  sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini. 
 Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi ―lakon gawe dan berlaku untuk tingkat  desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang  Sunda mempunyai peribahasa ―puraga tamba kad engda (bekerja sekedar untuk menghindari  hukuman  atau  dendaan).  Bentuk  dasa  pada  dasarnya  tetap  berlangsung.  Di  desa  ada  kewajiban ―gebagan yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk  menggarap tanah para pembesar setempat.  Jadi ―gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala  desa, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya  adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah  dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.  Piagam-piagam Baduga berupa karena merupakan  perintahnya.  Isinya  tidak  hanya  pembebasan  pajak  tetapi  juga  penetapan  batas-batas  kabuyutan Sunda dan  Samaya dinyatakan ―lurah  kwikuan yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.   Untuk  mengetahui  lebih  lanjut  kejadian  di  masa  pemerintahan  Sri  Baduga,  marilah  kita  telusuri sumber sejarah sebagai berikut: 
a. Carita Parahiyangan. 
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian : 
―Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor  kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang  siksa.   (Ajaran  dari  leluhur  dijunjung  tinggi  sehingga  tidak  akan  kedatangan  musuh,  baik  berupa  laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa  sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).  Dari  Naskah  ini  dapat  diketahui,  bahwa  pada  saat  itu  telah  banyak  Rakyat  Pajajaran  yang  beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut ―loba (serakah)  karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru. 
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2. 
Naskah  ini  menceritakan,  bahwa  pada  tanggal  12  bagian  terang  bulan  Caitra  tahun  1404  Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun  ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan  raja  oleh  uanya  (Pangeran  Cakrabuana)  dan  menjadi  raja  merdeka  di  Pajajaran  di  Bumi  Sunda (Jawa Barat)]

No comments:

Post a Comment