11 Jun 2016

SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579) Bag 2

2. Peran bergeser ke timur. 
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan 
Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis karena berada di 
tengah  segitiga  Galunggung,  Saunggalah  dan  Galuh.  Sejak  abad  XIV  ini  Galuh  selalu 
disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang 
bertetangga desa dengan Kawali). 
Sebenarnya  gejala  pemerintahan  yang  condong  ke  timur  sudah  mulai  nampak  sejak  masa  pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu  Darmasiksa),  ia  tetap  memilih  Saunggalah  sebagai  pusat  pemerintahan  karena  ia  sendiri  sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. 



Tetapi pada masa pemerintahan  puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. 
Ragasuci  sebenarnya  bukan  putera  mahkota  karena  kedudukanya  itu  dijabat  kakaknya 
Rakeyan  Jayadarma.  Menurut  Pustaka  Rajyatajya  i  Bhumi  Nusantara  parwa  II  sarga  3, 
Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah  Singamurti  alias  Dyah  Lembu  Tal.  Mereka  berputera  Sang  Nararya  Sanggramawijaya  atau  lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan. 
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di 
Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, 
Wijaya  disebut  pula  Jaka  Susuruh  dari  Pajajaran  yang  kemudian  menjadi  Raja  Majapahit  yang pertama.  Sementara  itu,  kematian  Jayadarma  mengosongkan  kedudukan  putera  mahkota  karena  Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci,  Citraganda,  sebagai  calon  ahli  warisnya.  Permaisuri  Ragasuci  adalah  Dara  Puspa,  puteri  Kerajaan  Melayu,  adik  Dara  Kencana  isteri  Kertanegara.  Citraganda  tinggal  di  Pakuan  bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah  selama  enam  tahun  di  Pakuan.  Ketika  itu  Raja  Sunda  dijabat  ayahnya  di  Saunggalah.  Dari  1303  sampai  1311,  Citraganda  menjadi  Raja  Sunda  di  Pakuan  dan  ketika  wafat  ia  dipusarakan di Tanjung. 
Prabu  Lingga  Dewata,  putera  Citraganda,  mungkin  berkedudukan  di  Kawali.  Yang  pasti,  menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai  tahun  1482  pusat  pemerintahan  tetap  berada  di  sana.  Bisa  disebut  bahwa  tahun  1333-1482 
adalah  Jaman  Kawali  dalam  sejarah  pemerintahan  di Jawa  Barat  dan  mengenal  lima  orang  raja.Lain  dengan  Galuh,  nama  Kawali  terabadikan  dalam  dua  buah  prasasti  batu  peninggalan 
Prabu  Raja  Wastu  yang  tersimpan  di  Astana  Gede,  Kawali.  Dalam  prasasti  itu  ditegaskan  ―mangadeg kuta (bertahta kota dan disebut  yang sebagai sipawindu (keraton memberikan  hidup). 

Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana  yang  gugur  di  medan  Bubat  dalam  tahun  1357.  Ketika  terjadi  Pasunda  Bubat,  usia  Wastu  Kancana  baru  9  tahun  dan  ia  adalah  satu-satunya  ahli  waris  kerajaan  yang  hidup  karena  ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi  Suradipati  atau  Prabu  Bunisora  (ada  juga  yang  menyebut  Prabu  Kuda  Lalean,  sedangkan  dalam  Babad  Panjalu  disebut  Prabu  Borosngora.  Selain  itu  ia  pun  dijuluki  Batara  Guru  di  Jampang  karena  ia  menjadi  pertapa  dan  resi  yang  ulung).  Mangkubumi  Suradipati  dimakamkan di Geger Omas. 
Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana  dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada  usia 23 tahun.  Permaisurinya  yang pertama  adalah  Lara  Sarkati  puteri  Lampung.  Dari  perkawinan  ini  lahir  Sang  Haliwungan,  yang  setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua  adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya  dengan  Mayangsari  lahir  Ningrat  Kancana,  yang  setelah  menjadi  penguasa  Galuh  bergelar  Prabu Dewa Niskala. 
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan  Dewa  Niskala  dalam  kedudukan  sederajat.  Politik  kesatuan  wilayah  telah  membuat  jalinan  perkawinan  antar  cucu  Wastu  Kencana.  Jayadewata,  putera  Dewa  Niskala,  mula-mula  memperistri  Ambetkasih,  puteri  Ki  Gedeng  Sindangkasih,  kemudian  memperistri  Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura. 
Subanglarang  ini  keluaran  pesantren  Pondok  Quro  di  Pura,  Karawang.  Ia  seorang  wanita  muslim  murid  Syekh  Hasanudin  yang  menganut  Mazhab  Hanafi.  Pesantren  Qura  di  Karawang  didirikan  tahun  1416  dalam  masa  pemerintahan  Wastu  Kancana.  Subanglarang  belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah. 

Kemudian  Jayadewata  mempersitri  Kentring  Manik  Mayang  Sunda  puteri  Prabu  Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. 

3. Ibukota kembali ke Pakuan. 
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi 
jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada 
juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah 
Prabu  Kertabumi.  Ia  diterima  dengan  baik  oleh  Prabu  Dewa  Niskala  bahkan  kemudian  dijodohkan  dengan  Ratna  Ayu  Kirana  (puteri  bungsu  Dewa  Niskala  dari  salah  seorang  isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. 
Disamping  itu  Dewa  Niskala  sendiri  menikahi  salah  seorang  dari  wanita  pengungsi  yang  kebetulan telah bertunangan. 
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan ―estri  Bubat,  kerabat  keraton  Kawali  ditabukan  berjodoh  dengan  kerabat  keraton  Majapahit.  Selain  itu,menurut  -undangan itu, wanita bertunangan boleh  menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan  pertunangan. 
Dengan  demikian,  Dewa  Niskala  telah  melanggar  dua  peraturan  sekaligus  dan  dianggap  berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang  juga  besan  Dewa  Niskala)  mengancam  memutuskan  hubungan  dengan  Kawali.  Namun,  kericuhan  dapat  dicegah  dengan  keputusan,  bahwa  kedua  raja  yang  berselisih  itu  bersama- sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh  kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan  Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). 
Dengan  peristiwa  yang  terjadi  tahun  1482  itu,  kerajaan  warisan  Wastu  Kencana  berada  kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai  ―Susuhunan  karena  ia  telah  lama  tinggal  di  sini  menjalankan  pemerintahan  sehari-hari  mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. 
B. Raja-raja Pajajaran. 
1. Sri Baduga Maharaja. 
Jaman  Pajajaran  diawali  oleh  pemerintahan  Sri  Baduga  Maharaja  (Ratu  Jayadewata)  yang  memerintah  selama  39  thaun  (1482  –   1521).  Pada  masa  inilah  Pakuan  mencapai  puncak  perkembangannya. 
Dalam  prasasti  Batutulis  diberitakan  bahwa  Sri  Baduga  dinobatkan  dua  kali,  yaitu  yang  pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang  kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan  Sunda  dari  mertuanya,  Susuktunggal.  Dengan  peristiwa  ini,  ia  menjadi  penguasa  Sunda- Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri  Sang Dewata. sekali dan terakhir setelah selama 
tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rom an raja yang berpindah tempat dari  timur ke barat. 
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi  sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika  Sri  Baduga  masih  hidup.  Lakon  Prabu  Siliwangi  dalam  berbagai  versinya  berintikan  kisah  tokoh  ini  menjadi  raja  di  Pakuan.  Peristiwa  itu  dari  segi  sejarah  berarti  saat  Sri  Baduga  mempunyai kekuasaan  yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu  Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). 
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya,  maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam  literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia  menulis: 
―Kawalya wwang lawan w wang  Carbon  mwang  sakweh  ira  wwang  Jawa  Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira.
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu  Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). 
Waktu  mudanya  Sri  Baduga  terkenal  sebagai  kesatria  pemberani  dan  tangkas  bahkan  satu- satunya  yang  pernah  mengalahkan  Ratu  Japura  (Amuk  Murugul)  waktu  bersaing  memperbutkan  Subanglarang  (istri  kedua  Prabu  Siliwangi  yang  beragama  Islam).  Dalam  berbagai  hal,  orang  sejamannya  teringat  kepada  kebesaran  mendiang  buyutnya  (Prabu  Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. 
Tentang  hal  itu,  Pustaka  Rajyarajya  i  Bhumi  Nusantara  II/2  mengungkapkan  bahwa  orang  Sunda  menganggap  Sri  Baduga  sebagai  pengganti  Prabu  Wangi,  sebagai  silih  yang  telah  hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): 
―Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat  menguasai  ilmu  senjata  dan  mahir  berperang,  tidak  mau  negaranya  diperintah  dan  dijajah  orang lain.  Ia  berani  menghadapi  pasukan  besar  Majapahit  yang  dipimpin  oleh  sang  Patih  Mada  yang  jumlahnya  tidak  terhitung.  Oleh  karena  itu,  ia  bersama  semua  pengiringnya  gugur  tidak  tersisa.  Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi  Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau  Nusantara  namanya  yang  lain.  Kemashuran  Sang  Prabu  Maharaja  membangkitkan  (rasa  bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat.  Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan  keturunannya  lalu  disebut  dengan  nama  Prabu  Siliwangi.  Demikianlah  menurut  penuturan  orang Sunda.   

No comments:

Post a Comment