11 Jun 2016

SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579) Bag 1


A. Kawali Ibukota Baru 

1. Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah. 

Bila  rasa  persatuan  dan  kesatuan  bangsa  Indonesia  tumbuh  secara  bersangsur-angsur,  ini  mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa  kesatuan  etnik  Sunda  di  Jawa  Barat  pun  tidak  tumbuh  serempak,  melainkan  berangsur- angsur. 

Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun  852  tahta  Galuh  jatuh  kepada  keturunan  Banga,  yaitu  Rakeyan  Wuwus  yang  beristrikan  puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera  Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu  belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan 
sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 –  895) dibunuh oleh seorang menteri  Sunda yang fanatik. 
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan  yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu  berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya.  Antara tahun 895 sampai tahun 1311  kawasan  Jawa  Barat  diramaikan  sewaktu-waktu  oleh  iring-iringan  rom  an  raja  baru  yang  pindah tempat. 
Ayah  Sri  Jayabupati  berkedudukan  di  Galuh,  Sri  Jayabupati  di  Pakuan,  tetapi  puteranya  berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah  di  Pakuan.  Raja  ke-24  memerintah  di  Galuh  dan  raja  ke-25,  yaitu  Prabu  Guru  Darmasiksa  mula-mula  berkedudukan  di  Saunggalah,  kemudian  pindah  ke  Pakuan.  Puteranya,  Prabu  Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis. 
Proses  kepindahan  seperti  ini  memang  merepotkan  (menurut  pandangan  kita),  namun  pengaruh  positifnya  jelas  sekali  dalam  hal  pemantapan  etnik  di  Jawa  Barat.  Antara  Galuh  dengan  Sunda  memang  terdapat  kelainan  dalam  hal  tradisi.  Anwas  Adiwijaya  (1975) 
mengungkapkan bahwa orang Galuh itu ―orang air, sedang orang Sunda ―Orang GunungYang satu memiliki ―mitos buaya, yang lain ―mitos harimau
Di  daerah  Ciamis  dan  Tasikmalaya  masih  ada  beberapa  tempat  yang  bernama  Panereban. Tempat  yang  bernama  demikian  pada  masa  silam  merupakan  tempat  melabuhkan  (nerebkeun) mayat tradisi Galuh, mayat  sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali ―sisa -sisa tradisi 
Sunda, mayat tanah. ―nerebkeun sebelah dan 
― ngurebkeun di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).  
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu ―Orang Air  dengan ―Orang Gunung itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng  Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda  ini  sangat  mendalam  dan  meluas  dalam  segala  lapisan  masyarakat,  padahal  mereka  tahu,
bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah 
(di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).  Dalam  abad  ke-14  sebutan  SUNDA  itu  sudah  meliputi  seluruh  Jawa  Barat,  baik  dalam  pengertian  wilayah  maupun  dalam  pengertian  etnik.  Menurut  Pustaka  Paratwan  i  Bgumi 

Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota  Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di  dalamnya  karena  Sundapura  mengandung  arti  kota  suci  atau  kota  murni,  sedangkan  Galuh  berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).  

Bersambung...


No comments:

Post a Comment