BAGIAN 3: TATAR SUNDA MASA SILAM
I. MASA TARUMANAGARA
Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidangiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman. Ini berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993: 37).
Untuk melengkapi Tarumanagara yang dikemukakan oleh Halwany Michrob, riwayat dapat diikuti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:
.. // ri bharatanagari rruang wamca athawa nuang rajya / calankayanawanica mwaug pallowamca / zoos inalahaken ri yuddhakala de nira samudraghupta maharaja maurya //sang ghuptaneher mahakawaca sx ra i bhumi bharata // makaswabhawa nira tan kenah / nist7snagalak ring eatru nira yeku sang alah // matangyan sekopayanya kulawandha mwang pirang sikyamutya mwang janapa sakeng kanwa wamcanung kasoran fi yuddkakala akweh pantaranya manigit angluru cesa ning pejah //..
Terjemahannya:
Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.
Perang itu terjadi tahun 267 Saka (345 Masehi). Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas, karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan perang. Oleh karena itu, di kota kota negara yang kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan.
Adapun maharaja Maurya itu, bernama nobat Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan raja Calankayana, bernama nobat Maharaja Hastiwarman dan raja Pallawa, bernama nobat Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat akrab dan bersatu, lalu bersama sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan. Yang berhasil menyelamatkan diri, dari pihak yang kalah, bersembunyi di gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.
Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara, terutama yang dahulu menjadi sahabat keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.
Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi ke pulau pulau di sebelah selatan, karena pihak musuh, selalu berusaha menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma desya), termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.
Kira kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, karena banyak penduduk dari desa-desa lain, datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa
Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi raja Taumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358 382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang bernama Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia bergelar demikian, karena selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu) di situ.
Tetapi penduduk di desa desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu, Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.
Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra Dengan demikian, penduduk itu dibeda bedakan antara golongan Nista Madya Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.
la menjadi raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382 395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Sedangkan ayahnya, dipusarakan di tepi kali Gomati. Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang bernama Purnawarman, yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395 434 Masehi).
Purnawarman, dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba).
Tindakannya yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang baru itu, diberi nama Sundapura (kola Sunda), dibangun di tepi kali Gomati.
Kira kira tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Taruma.
Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaat-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).
Akhirnya, Purnawarman, menjadi seorang raja yang sangat besar kekuasaannya di Jawa Barat. Sri Maharaja Purnawarman, ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja raja sesamanya (panji segala raja). Tarurnanagara menjadi sebuah kerajaan yang sangat besar kekuasannya di Pulau Jawa. Tiap tahun, semua raja bawahannya selalu datang di Purasaba Sundapura, untuk berbakti dan mempersembahkan upeti kepada Sri Maharaja Purnawarman. Raja raja bawahan itu, datang ke ibukota (Sundapura), tiap tanggal 11 bagian terang bulan Caitra (Maret-April). Kemudian, dari tanggal 13 sampai tanggal 15, mereka berkumpul bersama sama keluarga kerajaan Tarumanagara, sambil menghadiri pesta yang dimeriahkan oleh tarian gadis gadis cantik, dengan iringan suara gamelan yang merdu. Sang Maha raja menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang serba lezat (wesalehyamadhupanadi).
Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, ia sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tahun 410 Masehi, ia memperbaiki alur kali Gangga di daerah Cirebon, yang waktu itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya, disebut Cisuba, ini mulai diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya, pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332 Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang Purnawarrnan, mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya, ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang Purnawarman.
Dua tahun kemudian, Sang Purnawarman, memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di (kerajaan) Cupunagara Sungai tersebut, mengalir sampai di istana kerajaan. Pengerjaan, dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tanggal 13 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 Masehi). Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya, ialah: sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap orang, yang ikut serta mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan kata kata berbunga (sarwa bhasana). Mengenai kebesarannya dan sifat sifatnya, yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di burni dan di akhir kelak. Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa perahu, dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.
Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang Purnawarman, memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri, disertai beberapa orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda, Sang Juru, Sang Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau (mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Tarumaragara, sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang, yang ikut serta dalam pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja Purnawarman.
Para petani menjadi senang hatinya, karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya, dengan mendapat pengairan (kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian, tidak akan menderita kekeringan dalarn musim kemarau.
Kemudian, Sang Purnawarman, memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga. Ada pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Sang Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya.
Pengerjaan kali Gomati dan Candrabaga ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna, sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 Masehi). Ribuan penduduk, laki laki dan perempuan, dari desa desa sekitarnya, berkarya bakti siang malam, dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu, berjajar memanjang di tepi sungai, sambung menyambung tidak terputus, tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.
Selanjutnya, Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para Brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat. Sedangkan para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada yang diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan bermacam macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti yang ditulis pada batu.
Demikian pula di tempat tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya.
Di tempat tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Sernua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.
Pada tangal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman, memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma (di Jawa Barat). Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah hadiah lainnya. Kemudian, para Brahmana memberkati Maharaja Tarumuragara.
Dahulu, ketika Tarumanagara diperintah oleh Sang Rajadirajaguru dan Rajaresi Darmayawarmanguru, kerajaan ini tidak seberapa. Tetapi, setelah Purnawarman menjadi raja Tarumanagara, angkatan perangnya diperbesar serta lengkap persenjataannya. Demikian pula halnya Angkatan Laut, diperbesar dan diperkuat. Karena itu, pasukan Tarumanagara, selalu memenangkan pertempuran.
Setelah kerajaan Taruma menjadi besar dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati, la pun seorang pemuja Batara Indra, apabila hendak pergi menyerang musuhnya. Karena itulah, ia disebut Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Sejak tanggal 3 bagian gelap bulan Maga (Januari/Februari) tahun 321 Saka (399 Masehi) sampai tahun 325 Saka (403 Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut, yang merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan terhadap kaum perompak ini, dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma bersama 7 orang pengiringnya, ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang pertama dengan kaum perompak ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan Laut Tarumanagara, dipimpin langsung oleh Sang Purnawarman:
Puluhan kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampurri seorang pun, di antara mereka.
Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung junrlah perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.
Pada bagian ini, kemungkinan besar ada hubungannya dengan temuan prasasti Cidangiang, di Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang, yang tertulis dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta, antara lain sebagai berikut:
vikrantayam vanipateh
prabbhuh satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
pumnavarmmanah
Terjemahannya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman (Danasasrrrita, 1984: 3 1).
Prasasti ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman.
Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci Dang Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem religi Sunda.
Adik Sang Purnawarman, bernama Cakrawarman, menjadi Panglima Perang. Sedangkan pamannya dari pihak ayah, bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala). Sang Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang Purnawarman ke negeri seberang, untuk mempererat persahabatan. la pernah mengunjungi Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala, Bakulapura, Cina, Sumatera dan lain lain.
Adapun bendera kerajaan Taruma, berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata. Sedangkan rnaterai raja (rajatanda), adalah lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang). Bendera Angkatan Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa), yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera bendera yang berlukiskan senjata milik satuan satuan tempur. Kerajaan kerajaan bawahan Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.
Salah seorang isteri Sang Purnawarman, berasal dari Bakulapura. Negeri ini, ada di Tanjung Nagara (Kalimantan). Kisahnya berawal dari Sang Kudungga.
Sang Kudungga putera Sang Atwangga. Sang Atwangga putera Sang Mitrongga. Keluarga itu, telah beberapa puluh keturunan, berada di situ dan menjadi penguasa. Beberapa ratus tahun sebelumnya, keluarga itu, datang dari India. Pangkal silsilah mereka, dimulai dari Sang Pusyamitra, yang menurunkan wangsa Sungga di Magada. Ketika wangsa Sungga dikalahkan dan dikuasai oleh wangsa Kusan (Kucanawamsa), banyak di antara anggota keluarga ini, laki laki dan perempuan, yang mengungsi ke berbagai negara. Salah seorang anggota keluarga Sungga, bersama keluarga dan pengiringnya, tiba di salah satu pulau di Nusantara Mereka mendirikan desa, yang diberi nama Kuta (Kutai). Setelah berkembang menjadi kerajaan kecil, kemudian diubah namanya, menjadi Bakulapura.
Puteri Sang Kudungga, diperistri oleh Sang Aswawarman, putera kedua dari Prabu Darmawirya Dewawarman dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi. Kakak perempuan Sang Aswawarman, yang bernarna Dewi Minawati alias Iswan Tunggal Pretiwi, menjadi permaisuri Jayasingawarman Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.
Prabu Darmawirya alias Dewawarman VIII (raja Salakanagara terakhir), telah lama bersahabat dengan penguasa Bakulapura Sebab, Sang Kudungga, adalah saudara sepupu permaisurinya dari pihak ibu. Karena itulah, Sang Aswawarman diangkat anak oleh Sang Kudungga, dan sejak kecil tinggal di Bakulapura.
Jadi, Aswawarman dengan isterinya, masih saudara satu buyut. Setelah Sang Kudungga wafat, Sang Aswawarman menggantikannya, sebagai penguasa Bakulapura. Dalam masa pemerintahannya, Bakulapura menjadi kerajaan besar dan kuat, sehingga dialah yang dianggap sebagai pendiri dinasti (wamcakerta).
Aswawarman berputera tiga orang. Yang sulung bernama Mulawarman, kelak menggantikan ayahnya, menjadi penguasa Bakulapura. Di bawah pemerintahan Sang Mulawarman, Bakulapura menjadi makin kuat dan besar. la adalah raja yang sangat berwibawa dan membawahi kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya Persahabatan antara Bakulapura dengan Tarumanagara, menjadi semakin erat. Duta Bakulapura ditempatkan di ibukota Tarumanagara dan dernikian pula sebaliknya.
Permaisuri Sang Purnawarman, adalah puteri salah seorang raja bawahannya. Dari permaisuri ini, ia memperoleh beberapa orang putera dan puteri. Putera sulungnya, bernama Wisnuwarman, kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Tarumanagara keempat. Adik Wisnuwarman yang perempuan, diperistri oleh seorang raja di Sumatera. Kelak, Sri Jayanasa, seorang raja besar di pulau itu, adalah keturunannya. Isteri isteri Purnawarman yang lainnya, berasal dari: Sumatera, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.
Sang Purnawarman adalah pemuja Wisnu. Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma. Penganut Budha, tidak seberapa banyak. Kecuali di Pulau Sumatera. Penduduk pribumi, kebanyakan tetap memuja roh leluhur (pitarapuja), menurut adat yang diwarisi nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi: Undang undang kerajaan; Peraturan Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah Daerah di Jawa Barat; Silsilah Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain lain.
Sri Maharaja Purnawarman, wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga mendapat sebutan Sang Lurnah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).
Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).
Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawannan, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan nama nobat: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Indrawarman, sebagai raja Tarumanagara kelima, dengan nama nobat: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Candrawarman, sebagai raja Tarumanagara keenam, dengan nama nobat: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).
Digantikan oleh puterannya, Sang Suryawarman, sebagai raja Tarumanagara ketujuh, dengan nama nobat: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Kretawarman, sebagai raja Tarumanagara kedelapan, dengan nama nobat: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).
Karena tidak punya keturunan, digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai raja Tarumanagara kesembilan, dengan nama nobat: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Dewamurti, sebagai raja Tanunanagana kesepuluh, dengan nama nobat: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Nagajaya, sebagai raja Tarumanagara kesebelas, dengan nama nobat: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Linggawarman, sebagai raja Taruma nagara keduabelas, dengan nama nobat: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).
la digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan nama nobat; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai raja Kerajaan Sriwijaya di Surnatera.
Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan Batas sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.
Mengingat kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten (Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi Tarumanagara.
No comments:
Post a Comment