V. DEWAWARMAN
Berdasarkan naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, oleh Pangeran Wangsakerta,
diriwayatkan sebagai berikut:
/jwah tambaya ping prathama sa
kawarsa riking wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara
i bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi//
pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya wikriya/ hansing
mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya kaparajaya/
ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring nusa nusa i
bhumi nusantara//a
Terjemahanannya:
Kelak, mulai awal pertama tahun Saka
di sini telah banyak orang orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan
pulau pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang
gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan
mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama),
ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti
yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau
di bumi Nusantara.
Karena mereka semua mengharapkan
kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya. Terutama para pendatang, banyak
yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata
(India). Dua wangsa inilah, yang sangat banyak berdatangan di sini, dengan
menaiki beberapa puluh buah perahu besar kecil. Yang dipimpin oleh Sang
Dewawarman, tiba mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka mereka bertujuan yaitu
untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan.
Mereka senantiasa datang di sini,
dan mereka kembali membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang Dewawarman
telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Pulau
Api dan Pulau Sumatera sebelah selatan, terutama Sang Dewawarman sebagai duta
dari wangsa Pallawa.
Permulaan pertama tahun Saka, di
pulau pulau Nusantara, telah banyak golongan warga masyarakat, yang menjadi
pribumi tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang berkasih
kasihan berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil. Dukuh
besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai. Bukankah selalu
berdatangan orang lain atau wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata
(India), negeri Singhala, negeri Gaudi, negeri Cina dan sebagainya.
Ramailah kemudian dukuh dukuh di
tepi laut. Dengan demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi
Nusantara dengan negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur. Tetapi,
yang banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan pendatang dari negeri
Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa
Kulwan (Barat).
Para pendatang itu bersahabat dengan
penghulu dan warga masyarakat di sini. Adapun penghulu atau penguasa wilayah
pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, Aki Tirem atau
Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur
Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh
Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai
Dewawarman pertama.
Akhirnya semua anggota pasukan
Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan
pasukannya, tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi
penduduk di situ, lalu beranak pinak.
Beberapa tahun sebelumnya, Sang
Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (Pallawa) untuk negeri negeri lain
yang bersahabat, seperti kerajaan kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala,
Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempererat
persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum
meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman tidak
menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk
menerimanya dengan senang hati. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena
mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang
telah mempunyai anak.
Setelah Aki Tirem wafat, Sang
Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat Prabu
Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci
Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaannya
diberi nama Salakanagara (salaka= perak).
Daerah kekuasaan Salakanagara,
meliputi Jawa Kulwan bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa.
Laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya. Oleh
karena itu, daerah- daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan Sang
Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu perahu yang
beralayar dari timur ke barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar upeti
kepada Sang Dewawarman. Pelabuhan pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan, Nusa
Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera
bagian selatan, dijaga oleh pasukan Dewawarman.
Wangsa Dewawarman memerintah
Kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura (Kota
Perak). Kota besar lainnya lagi, Agrabhintapura ada di wilayah sebelah selatan.
Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta Limansakti, adik
Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati Bahadura
Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah penguasa mandala Hujung Kulon.
VI. PENERUS
TAHTA SALAKANAGARA
Dari perkawinannya dengan Pohaci
Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak yang tertua, laki
laki. Kelak, ia menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di
Salakanagara, dengan nama nobat Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi
Dewawarman lI yang memerintah dari tahun 90 sampai 11'7 Saka atau tabun 168
sampai 198 Masehi. la menikah dengan puteri keluarga Raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang
putera, yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabhu Singasagara
Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka
(195 238 Masehi). Pada masa
pemerintahannya, terjadi serangan bajak laut dari negeri China, yang dapat dihadapinya
dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan hubungan (pamitran) dengan
maharaja China dan raja raja India. Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa
Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari
perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan Raja
Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi
penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun 160
sampai 174 Saka (238 - 252 Masehi). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung
bernama Mahisasuramardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama
Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174 198
Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima
angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani,
Mahisasuramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211
Saka (289 Masehi).
Penguasa Salakanagara berikutnya
adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau Sang Mokteng
Samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara
sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun, dari tahun 211 sarnpai 230 Saka (289 -
308 Masehi). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai tiga putera
dan tiga puteri.
Putera sulungnya yang kemudian
menjadi Dewawarman VII, memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308
340 Masehi), bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua, seorang
puteri yang bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri
Kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama
Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri
Yawana. Yang keempat, laki-laki bemama Gopala Jayengrana. la menjadi seorang
menteri Kerajaan Calankayana India. Yang kelima, seorang puteri bernama Sri
Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut
kerajaan Pallawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka
Dewawarman Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.
Putera sulung Dewawarman VII bernama
Sphatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya
sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat
dengan kerajaan Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat permaisurinya.
Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan)
yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga
dari Maganda, yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh.
Dari puteri ini dengan Atwangga, lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan
ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
Ketika Prabu Bima Digwijaya
Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah Senapati Krodamaruta dari
Calankayana, di Rajatapura (ibukota Salakanagara), bersama beberapa ratus orang
anggota pasukannya, bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Gopala
Jayengrana, yaitu putera Dewawarman VI yang keempat. Yang menjadi menteri di
kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa
menghiraukan adat pergantian tahta, ia menobatkan diri menjadi penguasa
Salakanagara.
Akhli waris tahta yang sah, adalah
Sphafikarnawa Warmandewi, puteri sulung Dewawarman VII. Ia belum bersuami
karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia masih cucu
Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak
menyenanginya. Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa, karena ia tewas
tertimpa batu besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu berasal dari
puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi
`penguasa' Salakanagara.
Kemudian, Sphatikarnawa Warmandewi,
puteri sulung Dewawatman VII, dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara
menggantikan ayahnya, pada tahun 262 Saka (340 Masehi). Pada tahun 270 Saka,
Sang Rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi,
yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. la bersuamikan panglima angkatan laut
Kerajaan Pallawa. Lengkaradewi beserta suami dan puterinya, datang ke
Rajatapura dalam tahun 268 Saka (346 Masehi) sebagai pengungsi, karena
negaranya (Pallawa) telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga
Maurya.
Setelah pernikaharmya, Rani
Sphatikarnawa Warmandewi memerintah bersama sama suaminya, sebagai Dewawarman
VIII bergelar Prabhu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285
Saka (348 363 Masehi).
Pada masa pemerintahan Dewawarman
VIII, kehidupan penduduk makmur sentosa. la sangat memajukan kehidupan
keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak
seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula yang
memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau
Ganapati.
Dewawarman VIII mempunyai putera
puteri beberapa orang. Yang sulung, seorang puteri bernama Iswari Tunggal
Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Yang kedua, seorang putera bernama
Aswawarman. la diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga penguasa
Bakulapura, kemudian, ia dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga. Yang ketiga,
seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi
Santanu, Raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang
lainnya, tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara
keluarganya kelak adalah sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain,
tinggal di Yawana dan Semenanjung. Puteranya yang bungsu menjadi putera
mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat, ia menggantikarmya menjadi penguasa
Salakanagara.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua
orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi yang
menurunkan raja-raja di Jawa Kulwan dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua,
bernama Candralocana, puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la
menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semenanjung, dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan
Dewawarman Darmalokapala yang menjadi penguasa Salakanagara. Kerajaan ini
berdiri sebagai kerajaan bebas, selama 233 tahun (130 363 Masehi). Dewawarman
VIII, dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir, sebab puteranya, Dewawamm
IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
VII. CATATAN
PARA AKHLI
Sesungguhnya, berita tentarrg pernah
adanya sebuah kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh N. J. Krom dalam
buku Het Hindoe-Tijdperk(1938:121), sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan Edi
S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara I.I
(1987: 31), antara lain sebagai berikut:
Een naukeurig gedateerd Chineesch
bericht uit 132 n. C, lidjt weer aan onzekerheid van interpretatie. In dat jaar
zond ke koningvan Yet two, genaarnd Pien, een gezantschap naar Cina, en kreeg
genoemde kmting Tiarrpien een eergeschenk. In den nanm van het land ia
Yawadwipa, Java eiland, herkencl, ruaaruit zou volgen dot op dit oogenblik het
eilaed in kruestie door de Chineezen met em Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar
zoo dadelijk zal blijkery inderdacrdzees aannamelijk, dot het in dezen tjid
zijn door de Hindoe's gegeven naccm reeds droeg Ueel zwakker stoat de wedergave
van den koningsnaarn nit den Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende
vorstnaam uit den Archipel zrnl z~n en teams zou veivrijzen, dot het
hindoesiseeringsproces reeds een aanvang had gr?namen, hetzij dan dot een
Hindoe er zich als leaning had neergezet of een Indonesisch vorst dien
Indischen naam had aanvaard.
Untuk lebih dipahami, dikemukakan
pula kutipan terjemahannya, antara lain sebagai berikut:
Suatu berita Tionghoa jang
tertanggal seksama, dari tahun 132 sesudah Masehi mendjadi samar pula, oleh
karena tidak dapat ditafsirkan dengan pasti. Dalam tahun itu tersebutlah radja
Ye tiao jang bernama Pien dan mengirimkan utusan ke Tiongkok dan radja Tiao
pien tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah
dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang mana akan berarti, bahwa diwaktu itu pula
telah disebut pada nama Sanskertanja oleh orang Tionghoa. Memang mungkin
sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa pulau itu pada waktu itu telah
memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu. Djauh lebih lemah tafsiran nama
radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja berarti, bahwa nama radja inilah
kiranja jang tertua jang kita kenal di Nusantara, tetapi djuga akan
menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah dimulai pada waktu itu, baik oleh
karena seorang Hindu telah datang menetap dan mendjadikan dirinja radja, maupun
seorang radja Nusantara telah mengambil nama Hindu tersebut (Effendi, 1950:11).
Bahwa
Ye tiao telah mengirimkan duta ke Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam
Hou Han shu, telah dicatat oleh beberapa orang sarjana. Wolters (1967: 258)
menyebut keterangan dari Pelliot (1904: 266 69), yang menyarankan bahwa Ye tiao
adalah sebuah transkripsi yang permulaan tentang "jawa" dan
kesimpulan dapat ditarik tentang hubungan Cina-Indonesia paling tua pada abad
kedua Masehi. Stein (1974: 13642) mengemukakan alasan untuk percaya, di dalam
hal ini, Ye tiao terletak di perbatasan barat daya Cina, tetapi Demieville
(1951:336) tidak mempercayainya. Ia menyebut bahwa: "Java' ia also a
mainland South East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's incription of
1292 in the contex of Laos". Sedangkan Fujita Toyohachi berpikir Ye tiao
adalah satu bentuk alternatif dari Ssu tiao dalam arti Ceylon. Hal ini katanya
tidak mengherankan, jika penguasa Singhala mengirimkan satu perutusan ke Cina
pada tahun 132 M., karena perutusan dari India Utara yang tertua dari tahun 89
M. (Atja & Ekadjati,1987:32).
Sartono Kartodirdjo, mengutip
tulisan NJ. Krom dalam Hindoejavaanscht Geschiedenis (1931), antara lain
sebagai berikut:
Berita lainnya yang juga tidak dapat
dipastikan kebenarannya ialah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M. Di
dalam berita itu disebutkan, bahwa raja Ye tiao yang bernama Pien, meminjamkan
meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada maharaja Tiao pien. Menurut dugaan
Sarjana Perancis G. Ferrand, Ye tiao dapat disesuaikan dengan Yawadwipa, sedangkan
Tiao pien merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman
(Kartodirdjo,1977:3637 )
Untuk lebih jelasnya, D.G.E. Hall,
Guru Besar Emiritus Sejarah Asia Tenggara Universitas London, mengemukakan hal
yang sama, antara lain:
Bahwa laporan orang-orang Cina
berikutnya, tahun 132, mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya
interpretasi yang agak kurang pasti dari nama nama yang disebut mempunyai
nilai. Disebut upacara penerimaan oleh Kaisar Han untuk suatu perutusan yang
membawa hadiah kehormatan dari seorang raja Ye-tiao bernama Tiao pien. Apakah
Ye tiao merupakan terjemahan kedalam bahasa Cina dari istilah Sanskerta,
Javadvipa, pulau Jawa, dan apakah nama raja itu sama dengan Dewawarman dalam
bahasa Sanskerta?
Informasi yang nampaknya lebih
pasti, datang dari akhli Ilmu Bumi asal Alexander bernama Claudius Ptolomy,
yang menulis pada tahun 165 atau mungkin lebih awal lagi, dan jelas menggunakan
sumber-sumber yang lebih tua lagi. Buku VII dari Geographianya, secara detail
berisi tentang Asia Tenggara, yang menggambarkan negeri Perak dan negeri Mas
dekat kota-kota di Semenanjung Mas, "Chryse Chersonesus". Di antara
pulau pulau Nusantara disebut "Barousai Lama", dihuni oleh pemakan
daging manusia, "Sabadeibai Tiga", juga dihuni oleh pemakan daging
manusia, dan pulau Yabadiou atau Sabadiou nama yang berarti negeri Jelai, yang
dikatakan sangat subur dan menghasilkan emas banyak dan ibukotanya di ujung
sebelah baratnya, sebuah kota dagang bernarna Argyre atau Kota Perak (Hall,
1958 dalam Soewarsa,1988:1718).
Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas
lagl oleh Sartono Kartoclirdjo, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Sejarah
Nasianal Indonesia II, adalah sebagai berikut:
Dalam buku Geographike, kita bertemu
kembali dengan nama nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas
dan perak. Tempat tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak,
Chryse Chora, negeri emas dan Chryse Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini
menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau Enjelai (Kartodirdjo,1977:
6).
Menggunakan sumber yang sama,
pendapat Yogaswara yang dikutip oleh Halwany Michrob, mengemukakan antara lain
sebagai berikut:
Berita yang paling meyakinkan
tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya
peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M.
berdasarkan tulisan geograf Starbo (27-14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama
masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina
dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai
barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok
selatan sampai ke Cina (Yogaswara, dalam Michrob 1993: 32).
Bermula dari sebuah berita Cina dari
zaman keluarga (dinasti) Han, memberitakan bahwa "raja Ye tiao bernama
Tiao pien, mengirirrilcan utusannya ke Cina dalam tahun 132 Masehi". Ye
tiao diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao pien diduga sama
dengan Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao artinya Dewa, dan Pien artinya
Warman.
Sasaran mengarah ke Jawa bagian
Barat, karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi
Mesir bernama Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang ditulis kira
kira tahun 150 M. la. memberitakan, bahwa di dunia timur terdapat Iabadiou yang
subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung barat Iabadio terletak (kota)
Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau
Sabadibai.
Bila kedua berita dari Cina dan
Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal tersebut
menyangkut sebuah kerajaan di ujung barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary, pakar
arkeologi Islam Universitas Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo
(2000: 67), menyatakan bahwa pada abad ketiga, Ptolemeus sudah melakukan
transaksi perdagangan di Palembang, dan menyebut kota itu dengan nama Barus,
lantaran ia menukar minyak wangi dan keramik Yunani dengan kapur barus, yang
merupakan hasil utama kawasan itu.
Kartogtafer Eropa pada abad ke 15 17
mana pun yang hendak mencari tahu sejarah Nusantata mulanya berangkat dari
keterangan Claudius Ptolemeus (90 168 Masehi). Akhli matemarika dan astronom
dari Alexandria ini adalah orang pertama yang membuat catatan perjalanan
ancar-ancar letak Asia.
Hasan Mu'arif Ambary, pernah
melakukan penggalian di Palembang, dan nyatanya, banyak keramik dari Yunani
yang bercorak sama dengan penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut
membuktikan bahwa sebelum zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis
di Asia. Rute Ptolemeus adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India,
Barus, Cina, dan kembali ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda
keramik dari masa Dinasti Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan
Effendi,1956:10). Tepatnya di pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).
Berdasarkan temuan tersebut di atas,
dapat diduga, bahwa Claudius Ptolemeus yang menempatkan Iabadiou dan Argyre
dalam kartografnya, tentu dilakukan berdasarkan catatan pemetaan yang cermat.
Bahkan, Sartono Kartodirdjo, menduga
Argyre yang dimaksud oleh Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia
Hyphegesis, yang berarti perak, adalah "terjemahan" dari Merak, yang
memang terletak di sebelah barat Pulau Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).
Ayatrohaedi dan Edi S. Ekadjati dalam
acara bedah naskah Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri Salakanagara
Pandeglang), sebagai Dewan Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara memang pernah
ada di pesisir barat Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.
No comments:
Post a Comment