24 Jun 2016

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR SUNDA bag 6



II.        MASA KERAJAAN SUNDA

 Sebagaimana yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu, masa akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Sang Linggawarman kepada menantunya, Sang Tarusbawa. Dengan berbagai akibatnya, Sang Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dari sejak itulah, Kerajaan Sunda, seharusnya tampil dalam panggung sejarah.


            Walaupun kerajaannya sudah berbagi kekuasaan dengan Sang Wretikandayun, Sang Tarusbawa masih sempat memberitakan penobatannya sebagai penerus tahta Tarumanagara, ke berbagai negara sahabat. Oleh sebab itulah, dalam sumber Cina yang terakhir, menyebutkan "tentang adanya utusan dan Tarumanagara pada tahun 669 Masehi".
            Sang Tarusbawa memiliki pribadi yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun, walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh. Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah".
            Langkah Sang Tarusbawa berikutnya, memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor). Di sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya: Sri Kadatwan Bima Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada.
             Sang Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun. Sebagai penggantinya, Sang Sanjaya, sebagai raja Kerajaan Sunda yang kedua, dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Setelah 9 tahun berkuasa, pada tahun 654 Saka (732 Masehi), tahta Kerajaan Sunda dikuasakan kepada puteranya: Sang Tamperan Barmawijaya.
             Pelimpahan kekuasaan kepada puteranya, disebabkan ia menjadi penguasa di tiga kerajaan di Pulau Jawa (Taraju Jawadwipa):

1.    di Kerajaan Galuh, ia pewaris tahta dari ayahnya Sang Sena, yang terusir oleh Sang Purbasora;

2.    di Kerajaan Medang bumi Mataram (Kalingga Utara) Jawa Tengah, ia pewaris tahta dari ibunya: Sanaha. Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putera sulung dari perkawinan manu, Sena Sanaha;

3.    di Kerajaan Sunda, ia "cucu menantu" Sang Tarusbawa. Sebab, Sang Sanjaya menikah dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayupurnawangi, cucu Sang Tarusbawa. Seharusnya, yang menjadi pewaris tahta Kerajaan Sunda, adalah ayahnya Teja Kancana, tetapi ia wafat dalam usia muda.

Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara Sang Manarah dengan Sang Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh Sang Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diwisuda pada tahun 739 Masehi, sebagai raja ketiga di Kerajaan Sunda, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
            Dari pernikahannya dengan Kancana Sari, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian, karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
            Sang Banga menjadi raja di Kerajaan Sunda sampai tahun 776 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Medang, dengan nama nobat Prabhu Hulukujang. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, kemudian diberi nama Dewi Samatha. Puteri tersebut diperisteri oleh Rakeyan Hujungkulon. Setelah Prabu Hulukujang wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujungkulon, dengan nama nobat Prabu Gilingwesi.
            Adik Rakeyan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) adalah Sang Tariwulan, yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
            Setelah prabu Gilingwesi wafat, digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus, dengan nama nobat Prabu Pucuk Bumi Darmeswara, pada tahun 795 Masehi.
            Setelah Prabu Pucuk Bumi Darmaweswara wafat, digantikan oleh puteranya, Rakeyan Wuwus, yang bernama nobat Prabu Gajah Kulon pada tahun 819 Masehi.
            Karena Prabu Linggabumi (raja Galuh) tidak mempunyai keturunan, ketika ia wafat, tahta Kerajaan Galuh dipercayakan kepada Prabu Gajah Kulon (raja Kerajaan Sunda). Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Jawa Barat dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.

Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah:

1.    Batara Danghiyang Guruwisuda; dan
  2.   Dewi Sawitri.

            Sebagai putera laki laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
            Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua orang putera, antara lain:

 1.   Rakeyan Kamuning Galling; dan
  2.   Rakeyan Jayagiri.
  3.   Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian digantikan oleh Rakeyan Kamuning Galling, dengan nama nobat Prabu Pucukwesi.

            Prabu Pucukwesi memerintah di Kerajaan Sunda-Galuh hanya 3 tahun, sebab pada tahun 916, tahtanya direbut oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, Rakeyan Jayagiri naik tahta, dengan nama nobat Prabu Wanayasa Jayabuana.
             Di pihak lain, ketika peristiwa perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.
             Pasukan Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh.
             Serangan kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
             Kerajaan Galuh, membebaskan diri sebagal kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu Jayadrata. la adalah kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana. Rakeyan Limbur Kancana, putera Rakeyan Kamuning Gading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri.
             Karena Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampal tahun 920 Masehi, karena dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Umbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.
            Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
             Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suanii Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
             Prabu Limbur Kancana, berputera dua orang, di antaranya:

 1.   Rakeyan Sunda Sembawa; dan
  2.   Dewi Somya.

            Rakeyan Sunda Sembawa, berhasil merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia naik tahta, dengan nama nobat: Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana. Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.
            Rakeyan Wulung Gadung adalah suami Dewi Somya. Dewi Somya, adik ipar Rakeyan Sunda Sembawa, menantu Prabu Limbur Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973 sampai 989 Masehi.
            Prabu Wulung Gadung, ketika wafat, digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan Gendang, dengan nama nobat Prabu Brajawisesa.
            Putera Prabu Brajawisesa ada dua orang, di antaranya:

1.    Prabu Dewa Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan
 2.    Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.

Pada tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu Dewa Sanghiyang. Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 Masehi.

Setelah Maharaja Dewa Sanghiyang wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang Ageung. la berkuasa atas tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan menyandang gelar Maharaja. Sebagai penguasa di wilayah Kerajaan Galuh, dipercayakan kepada adik isterinya, yaitu Dewi Sumbadra. Bersama lama, keduanya memerintah, dimulal pada tahun 1019 Masehi.
            Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat pada tahun 1030 Masehi. Sedangkan Dewi Sumbadra, memerintah di Kerajaan Galuh, sampai tahun 1065 Masehi.
            Setelah Sang Maharaja Sanghiyang Ageung wafat, penggantinya adalah Sri Jayabhupati, dengan nama lain Prabu Ditya Maharaja. Gelar panjang Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.
            Sebagai pengganti Sri Jayabhupati, adalah Sang Darmaraja, dengan nama nobat: Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
            Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.
            Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah:

1.    Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya;
 2.    Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan
 3.    Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.

Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di anataranya ialah:

1.    Dewi Puspawati; dan
 2.    Dewi Citrawati.

Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbal hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.
            Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mertdalami keagamaan.
            Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang nama nobatnya Batari Hiyang Janapati.
            Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
            Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.
            Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
            Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:

1.    Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.

2.    Sebelah timur sebagal Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.

Dari pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya:

1.    Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan
  2.   Sang Cakranagara, menjadi Mangkubumi.

            Prabu Langlangbumi lahir tahun 1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90 tahun. Sebagal penggantinya, puteranya, Prabu Menakluhur.
             Prabu Menakluhur, memperisteri Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa.
             Ratna Wisesa diperisteri oleh Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.
             Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
            Sang Darmasiksa, tahun 1175 Masehi, menggantikan tahta ayahnya, dengan nama nobat: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung), beribukota di Saunggalah (Kuningan). Kemudian, kedudukan pusat pemerintahan, tahun 1187 Masehi, pindah ke Pakuan (Bogor).
            Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:

1.    Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;
 2.    Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;
 3.    Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.

Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera, Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).
            Rahiyang Jayadarma, tidak sempat menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel Jawa Timur.
            Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
            Sang Ragasuci atau Rahiyang Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja Singhasari).
            Dari perkawinannya dengan Dara Puspa, Rahiyang Saunggalah berputera: Citraganda. Rahiyang Saunggalah, menjadi Raja Sunda hanya 9 tahun (1297 1303 Masehi). Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175 1297 Masehi).
            Pengganti Prabu Ragasuci, puteranya, Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.
            Prabu Citraganda memerintah di Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai tahun 1311 Masehi. Pengganti Prabu Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata. la memegang kekuasaan di Kerajaan Sunda, sampai tahun 1333 Masehi.
            Sebagai pengganti Prabu Citraganda, adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1.    Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot;
 2.    Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
 3.    Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga (Majalengka).

Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat tahun 1340 Masehi. Kemudian digantikan oleh puteranya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang memerintah di Kerajaan Sunda sampai tahun 1350 Masehi.

Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, digantikan oleh puteranya, Prabu Linggabuana, dengan nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
            Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:

1.    Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
 2.    Putera kedua laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
 3.    Putera ketiga laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
 4.    Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.

Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk.
            Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.
            Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.
            Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.
            Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.
            Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Patih Gajah Mada, sama sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.
            Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.
            Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.
            Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.
            Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"
            Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.
            Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati bela (bunuh diri).
            Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing masing ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.

            Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.
            Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.
            Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
            Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.
            Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
            Dari permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya;

1.    Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;
 2.    Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;
 3.    Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan
 4.    Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.

Sang Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan, yang lahir pada tahun 1369 Masehi.

Pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahm), puteri bungsu Sang Mangkubumi Bunisora. pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.
            Sang Niskala Wastu Kancana menggantikannya, naik tahta pada usia 23 tahun, dengan nama nobat: Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.
            Tentang masa pemerintahan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".
            Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453   1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang.
            Selama masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut Cina, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).
            Penulis Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).

Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat dalam kaol Cina, antara lain sebagai berikut:

Chu fan chi adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau ju kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo tsi (Heuken,1999: 24).

Berita tentang Sunda yang dicatat Chau ju kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku fei (1178 Masehi), dalarn naskah berita Ling wai tai ta. Ketika Chou Ku fei mencatatnva, ataupun ketika Chau-Ju kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175 1297 Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju kua mengutipnya, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).
            Chau Ju kua membubuhkan komentar dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San fo tsi". Rupa rupanya, catatan Chau ju kua itulah, yang sering menjadi sumber dugaan, "bahwa Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.
            Lain halnya dengan catatan Pangeran Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah seorang isteri Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya Sanggaramawijayatunggawarman (1018 1027 Masehi).

            Catatan Pangeran Wangsakerta lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

No comments:

Post a Comment