Dalam masa "gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing masing mengirimkan utusan ke negeri Cina, meminta bantuan dan perlindungan.
Kaisar (Raja) Cina membalas kedua surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:
1. Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;
2. Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura (Sunda Sembawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan
3. Perdamaian dipimpin oleh Duta Cina, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Darmasiksa Maharaja Sunda.
Upaya penyelesaian jalan damai, berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nitsantara".
Kemudian Kerajaan Sunda serta kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para akhli, antara lain sebagai berikut:
Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut turut, baik oleh orang Cina (misalnya dalam teks Chan Ju kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan tan" dan "shun t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke 16 (misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).
"Banten dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan petunjuk: Hendaknya digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya(Guillot,1996:119).
Catatan Cina lainnya memberitakan tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:
Dalam perjalanan ini dari Shun t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia lie pa (= kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che li wen (Cirebon).
Kapal kapal dari Wan tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia liu pa (Kelapa), Tanjung Chiao ch'iang wan (Tanjung Indramayu) dan Che li wen (Cirebon) (Heuken,1999: 107).
Cina mencatat pelabuhan pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan tan (Banten); Chia lie pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio ch'iang wan (Tanjung Indramayu) dan Che li wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:
Chu fan-chi adalah buku perlama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San fo tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju kua itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten (Heuken,1999: 24).
Kapalembangan diinaksud, boleh,jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir barat Banten.
CATALAN PARA AKHLI
Kajian para akhli tentang Banten Girang, telah sering dilakukan, terutama melalui penelitian arkeologi. Akan tetapi, jalan untuk menuju ke Banten Girang, belum menemui titik terang, masih dilanda kegelapan. Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono, telah berupaya mengungkapkan hasil penelitiannya melalui buku Banten Sebelurn Zarnan Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? 1526 (Penerbit Bentang, 1996). Sangat menarik, penampilan angka tahun dalam judul buku tersebut, yaitu 932 yang dibubuhi tanda tanya (?). Artinya, angka tahun tersebut, oleh Claude Guillot dan kawan kawan, masih diragukan atau perlu diteliti lebih lanjut^
Claude Guillot dan kawan kawan menampilkan angka tahun 932?, berdasarkan hasil kajian epigrafi Bosch, antara lain sebagal berikut:
Sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di Kebonkopi, yaitu prasasti II (dinamakan demikian untuk membedakannya dengan prasasti dari tempat yang sama yang berasal dari masa Kerjaan Taruma) memberitahukan "pemulihan kembali Raja Sunda" (barpulihkan haji Sunda). Prasasti tersebut telah dipelajari dan diterbitkan oleh Bosch, yang menafsirkan tahunnya berdasarkan sebuah candrasangkala, yaitu 932 M (854 S) (Guillot,1996:111).
Dari prasasti Kebonkopi II hasil kajian Bosch itulah, angka tahun (titimangsa) Banten Girang dijadikan patokan. Pembuktian arkeologi ditampilkan, sekaligus merupakan daya dukung, untuk memperkuat suatu anggapan.
Di satu pihak tampak dari analisis benda benda temuan, bahwa Banten Girang didirikan pada abad ke 10, sedangkan candi yang terletak di G. Pulasari, melihat arca arcanya, dapat ditentukan masa pembangunannya pada paro pertama abad yang sama. Artinya kedua peristiwa tersebut sezaman dengan prasasti Kebonkopi II yang memberitahukan berdirinya sebuah kerajaan di daerah itu (Guillot,1996: 111).
Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989), antara lain sebagai berikut:
Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).
Prasasti itu dipahatkan pada permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris huruf, bunyinya demikian:
// ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sun
nda//
Sebelum memberi tetjemahan, terlebih dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk cakakala atau sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan aya nda; pangambat, dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar istana.
Candrasangkala: kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu ragu, bacaan yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan, ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).
Setelah memperhatikan terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:
Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.
Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu Kuna, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada awal abad ke 10 Masehi, secara kultural dan juga rupa rupanya dari segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja & Ekadjati,1989:186 187).
Timbulnya perbedaan anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.
1. Bosch menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;
2. Satyawati Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan
3. Guillot menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut didapat dari tafsiran Bosch.
Sebagaimana lajimnya pembacaan candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi tersebut masih digunakan dalam naskah naskah Sunda Kuna, yang usianya lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.
Peristiwa sejarah, yang ada hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadvripa, parwa I sarga 3, halaman 13 14, antara lain sebagai berikut:
.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang uehersatu luynrc sang candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira / pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//
Terjemahannya:
Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483 Saka (535 561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Putera yang kedua, Mahisawarman namanya, yang menjadi Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang Matsyawarman namanya, yang menjadi Panglima pasukan laut (senapati sarwajala). Yang keempat perempuan, yaitu Dewi Bayusari namanya la diperisteri oleh putera mahkota (yuwaraja) Kerajaan Pali.
Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat "barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwtpa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal "Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran kithcc sundapara//
Terjemahannya:
Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura (Kota Sunda).
Dalam prarasti tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda Sembawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.
Dengan demikian, "Barpulihkan Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda", tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan (535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.
Upacara "barpulihkan" dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I "telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual raja pendahulunya.
Kemudian, digunakannya bahasa Melayu Kuna pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk" kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke 10 Masehi, secara kultural dan juga rupa rupanya dari segi politik, tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi "Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman, menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai "Rakryan Juru Pangambat".
catatan, menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536 Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669 Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.
Sebagai bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut:
.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda / mruang duta sunda haneng rajya criwija ya// ....
Terjemahannya:
Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya, telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing masing, dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, raja Sriwijaya.
Berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda Sembawa (Bekasi). Guillot berupaya mencari jejak kebesaran Hinduisme di Banten Girang, tapi yang ditemukannya Sanghiyang Dengdek, yang tidak dapat dijadikan tiang penyangga hasil penelitiannya. Kekecewaan Guillot, terungkap dalam tulisannya:
Sulit dibayangkan bahwa negeri yang terbuka ke dunia luar, seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari area menhir itu (Guillot, 1996:100).
Dengan demikian Banten Girang yang ditelusuri oleh Claude Guilot, semakin samar untuk ditemukan. Kehadiran Salakanagara, Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Sunda Pajajaran di atas pentas sejarah, tidak ia hiraukan.
III. KERAJAAN SUNDA PAJAJARAN
A. POLITIK DAN KONFLIK
Claude Guillot dan kawan kawan, dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, mengemukakan kesannya tentang temuan "Banten Girang", antara lain sebagai berikut:
Patut diperhatikan pula bahwa garis besar haluan Banten dalam hal politik luar negeri mendapat sorotan baru dari sejarah Banten Girang. Banten memberi kesan seolah olah membalas dendam atas nama Banten Girang. Ibukota Pajajaran misalnya, yang pernah menaklukan Banten Girang, diserang dan direbut oleh Banten pada pertengahan abad ke 16 (Guillot,1996:137).
Kesan Guillot memang "patut diperhatikan", bahkan kesan tersebut harus dicermati. Seringnya digunakan sebutan Pajajaran, yang diperankan sebagai "musuh Banten", tentu harus ada penjelasan yang lebih memadai. Persoalan yang muncul, "Benarkah serangan Banten ke ibukota Pajajaran itu, merupakan tindakan balas dendam, akibat pernah ditaklukannya Banten Girang?"
Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa Banten atau WanTan (dalam lafal berita Cina), tidak berdiri sendiri. Banten merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pulasari, Salakanagara, Tarumanagara dan Kerajaan Sunda. Banten di masa silam, dengan segala perkembangan kehidupannya, tetap setia mengikuti alur waktu, menelusuri kurun zaman.
Untuk diketahui secara objektif, sebagai pembanding, akan ditampilkan naskah naskah kuna hasil kajian filologi, di antaranya: Kropak 406 Carita Parahiyangan; Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 2; Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 3; dan Pustaka Nagarakretabhumiparwa I sarga 5. Berdasarkan naskah naskah kuna tersebut, dirangkum dalam satu bahasan berkesinambungan, yang alur riwayatnya adalah sebagai berikut:
Sepeninggal Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1475 Masehi), kawasan bekas Tarumanagara, kembali terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan, putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang tetap sama: Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan menjadi penguasa Kerajaan Sunda, dengan nama nobat Prabu Susuktunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 Masehi, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagal pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.
Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis : inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya. Dialah Sang Susuk tunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya. Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa " yang menghebohkan. Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diperabukannya Raja-raja Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.
Selanjutnya, sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima punta narayana madura suradipati. Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri Bima Sakti.
Kawekasan sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun. Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja 100 tahun (1382 1482 Masehi).
Kemudian Sang Ningrat Kancana, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungal Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala,dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali(Ciamis).
Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kan¬cana. la adalah tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka estri larangan ti kaluaran. Yang di¬ pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475 1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar..
Adapun yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam tahun 1473 Masehi, Raden Patah dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu kandung Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama Cina mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.
Siu Ban Ci mengembara ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Patah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Patah (Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagal guru dan juga mertuanya.
Sunan Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 14'75 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Patah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.
Tiga tahun kemudian, Raden Patah mengerahkan pasukan Demak. menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar, mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahait dirubahnya menjadi Demak, dan Raden Patah menjadi Sultan yang pertama dengan nama nobat Sultan Alam Akbar AI Fatah.
Uniknya, peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengislamkan ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.
Kerajaan Majapaliit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana (Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan Prabu Udara (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur leburkan Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.
Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempuNyai anak laki laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah pernimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalarn cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantal Selatan).
Di antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.
Kemudian, Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya Prabu Dewa Niskala, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka) Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik Banyakngampar Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga tiganya adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.
Selaln itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.
Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti purbajati Sunda):
1. Prabu Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya., dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.
2. Prabu Dewa Niskala, memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).
Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan) keraton. Dari sejak peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.
Prabu Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai Citarum.
Untuk menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan), di wilyah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:
1. Prabu Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2. Begitu pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.
Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada Jayadewata.
Adapun posisi Jayadewata pada saat itu, adalah:
1. Putera sulung Prabu Dewa Niskala, dari permalsuri;
2. Menantu Prabu Susuktunggal, atas pernikahannya dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda.
B. SRI BADUGA MAHARAJA
Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, Jayadewata mula mulaa gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.
Peristiwa penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, yang memberitakan:
// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //
Terjemahannya:
Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 (Danasasmita, 1981: 25).
Prasasti Batutuhs Kota Bogor, dibuat oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, pada tahun 1533 Masehi. Pembuatan prasasti tersebut, dilakukan dalam upacara penyempurnaan sukma, untuk mengenang jasa-jasa dan kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Upacara semacam itu, hanya dilakukan untuk raja raja tertentu. Jika seorang raja wafat, kemudian setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasa dan kebesarannya, maka raja tersebut digali dari kuburnya, kemudian kerangkanya diperabukan. Maksudnya, agar sukma raja tersebut, dapat kembali kepada zat asalnya: Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Isi prasasti Batutulis Kota Bogor, tidak bertentangan dengan naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, yang terjemahan langsungnya, antara lain sebagai berikut:
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu: membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan ke hutan larangan. la memperteguh pertahanan ibukota, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kebinihajian (kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran (macam macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan kesenian), memperkuat angkatan perang, mengatur pungutan pajak dari raja raja bawahan dan menyusun undang undang kerajaan.
Memberi hadiah desa perdikan untuk tempat tinggal para Pendita, tertulis pula dalam prasasti (piagam) tembaga, yang ditemukan di Desa Kabantenan, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari prasasti yang berjumlah 5 lembar itu, isinya dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan itu, berupa penegasan batas batas wilayah dan pembebasan dari pajak, serta ancaman hukum mati, bagi siapapun yang melanggar keputusannya.
Tanah suci Lemah Dewasasana atau Lurah Kawikuan, dibebaskan dari 4 macam pajak yang disebut: dasa, calagara, kapas timbang (upeti) dan pare-dongdang(panggeres reuma).
Dasa, adalah pajak tenaga perseorangan, yaitu kewajiban bekerja beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja atau keluarganya. Kata dasa, diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti pelayanan (service).
Calagara (di Majapahit: walagara), adalah pajak tenaga kolektif. Para petani tergabung dalam pasukan pekerja, yang dipimpin oleh wado (seorang prajurit yang ditugaskan memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan bagi kepentingan raja dan negara.
Kapas timbang atau upeti kapas, harus diserahkan tiap tahun, sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.
Pare dongdang atau panggeres reuma, adalah pare turiang, yaitu padi yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah berpindah ladang (huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus diserahkan kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.
Upacara penyempurnaan sukma Sri Baduga Maharaja telah dilakukan. Akan tetapi masyarakat Kerajaan Sunda masih tetap mengenang dan menceritakan jasa-jasa dan kebesaran Sri Baduga Maharaja. Keharuman Sri Baduga Maharaja, sebanding dengan keharuman nama uyutnya (buyutnya), Prabu Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi), yang gugur di Palagan Bubat. Juga sebanding dengan keharuman nama kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah), yang mengangkat Kerajaan Sunda mencapai kejayaannya. Oleh karena itulah, Juru Pantun ataupun Penulis Babad, mengenang Sri Baduga Maharaja sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya pengganti. Wangi artinya harum.Silih Wangi, artinya pengganti raja raja tertnashur sebelumnya.
Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan sumber sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.
Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk 23.121 jiwa.
Tome Pires (k.l. 1468-1539 Masehi), seorang apoteker yang pernah berkarya pada seorang pangeran di Lisbon (Heuken, 1999: 41), dan akan menjadi duta raja Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59), pada tahun 1513 Masehi singgah di pelabuhan pelabuhan Sunda. Tome Pires memberitakan, bahwa perdagangan Sunda lewat pelabuhan-pelabuhannya sangat maju. Omzet perdagangan kuda, dapat mencapai 4.000 ekor tiap tahun.
Dayo (dayeuh=ibukota) tempat tinggal raja, disebutkannya, terletak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa, berada di pedalaman. Istana raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar tong anggur dan tingginya 5 pathom (depa = kira kira 9 meter), serta pada puncaknya berukir indah. Dalam angkatan perang kerajaan, terdapat 40 ekor gajah.
Tentang Sri Baduga Maharaja, Tome Pires mencatatnya sebagai Rev he gramde cacador (Raja Sunda adalah seorang raja perkasa dan pemburu). Tetapi yang lebih penting, Tome Pires mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga Maharaja, antara lain: Regno De cumda Regido em Justiea (kerajaan Sunda diperintah secara adil).
Untuk kepentingan perdagangan Portugis, Tome Pires mencatat pelabuhan pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, adalah sebagai berikut:
// Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bamtam o Porto De pomdam/ o porto de chegujdee o Porto De tamgaram o Porto de calapa o Porto de chemano ysto hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos//
Terjemahannya:
Pertama, raja Sunda (Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide, Tangerang (Tamgaram), Kalapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di antara kedua kerajaan (Heuken, 1999: 37).
No comments:
Post a Comment