Sebuah Tinjauan Masa Awal Indramayu Antara Legenda dan Sejarah
“…, Hantuk marmane yang hagung, suara kang kapiyarsi, heh kacung pan Wiralodra, lamun pengen mulya kaki, saturun turunira, babadda hing alas kaki. Hing kulon hungsinen kulup, hing halas Cimanuk kaki, halas gedhe hiku nyawa, pan bakal dadi negari, kanggo turun turunira, dugi turun pitu mangkin…..”
Naskah Babad Dermaju Sumber Dokumentasi dan Ilmu Pengetahuan
Dangding (puisi tembang) sinom diatas terdapat dalam Babad Darmaju Naskah Kertasemaya (selanjutnya disebut BINK) yang menceritakan wangsit yang didengar Wiralodra untuk mencari Sungai Cimanuk, yang terjemahan bebasnya sebagai berikut : “…,Mendapat petunjuk dari Allah Yang Maha Besar, terdengar wangsit berupa suara, wahai putraku Wiralodra, jika engkau menginginkan kemulyaan bersama keturunanmu, tebanglah olehmu hutan rimba Sungai Cimanuk, yang terletak diarah barat matahari terbenam, mengungsi dan menetaplah disana, hutan rimba itu nyawa, kelak tempat itu akan menjadi sebuah negeri, untuk keturunanmu hingga tujuh turunan…..”
Wilayah III Cirebon atau Ciayumajakuning, termasuk Kabupaten Indramayu, masih memiliki banyak tinggalan budaya berwujud (tangible heritage) diantaranya berupa naskah-naskah kuno atau manuskrip. Naskah mengandung makna luas dan beragam. Secara bahasa (lughowi) maupun secara istilah (isthilahi). Naskah menurut istilah adalah karya tulis tangan yang pada umumnya dibuat tatkala teknologi tulis menulis-mesin tik dan mesin cetak belum dikenal, baik untuk membuat karyatulis pertama maupun untuk memperbanyaknya.
Segala sesuatu yang berberhubungan erat dengan pengetahuan dan pengalaman manusia diabadikan secara tertulis langsung dengan tulisan tangan, serta tentu saja dengan menggunakan aksara dan bahasa yang dikenal dan berlaku pada masanya. Sedangkan yang dimaksud dengan Naskah Kuno atau Naskah Lama adalah hasil karangan (karya tulis) yang masih berupa tulisan tangan dan berusia lebih dari 50 tahun. Pengertian ini didasarkan atas ketentuan yang ditetapkan dalam Monumen Ordonansi Staat Sbllad 238 tahun 1931.
Diwilayah Jawa Barat menurut data sejarah terdapat tujuh aksara dan bahasa yang pernah digunakan. Ketujuh Aksara (hurup) dan Bahasa yang dimaksud adalah aksara-aksara Pallawa, Jawa Kuna, Sunda Kuna, Carakan/Jawa Barat, Cacarakan/Jawa, Pegon/Arab, dan Latin serta bahasa-bahasa : Sanskerta, Melayu Kuna, Jawa Kuna, Sunda Kuna, Jawa Pertengahan, Arab, dan Sunda . Selain itu, media naskahpun bermacam-macam; yakni daun (nipah, enau, dan kelapa), daluang (kertas yang terbuat dari kulit kayu), dan kertas. Alat tulis yang digunakan alat-alat yang sangat khusus seperti peso pangot, malam, getah, arang, dan tinta. Semua bahan tulisan dan alat tulis tersebut dibuat sendiri secara tradisional oleh masyarakat masa itu.
Naskah-naskah Jawa Barat, termasuk Naskah Cirebon-Indramayu, secara substansial (isinya), dapat dikelompokan kedalam 12 macam yaitu: agama, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni.
Nilai dan peran sebuah naskah adalah sangat penting karena benilai dokumenter (media perekam) dan sumber ilmu pengetahuan, dari beberapa naskah Babad Indramayu, kita mengetahui beberapa hal seperti; bagaimana bentuk kertas masa lalu, seperti apa bentuk tulisan aksara, bagaimana kosa kata, makna, struktur bahasa yang digunakan pada zaman dahulu. Tanpa Babad Indramayu kita tidak akan mengenal cerita tokoh-tokoh Indramayu, seperti Raden Wiralodra, Nyi Endang Darma, dan Pangeran Guru Aryadillah, juga tidak mengenal nama-nama tempat, seperti Grage, Pulomas, Pagaden, Kandanghaur, Majalaya, Sumedang, Ciamis, Kuningan, Mataram, Majapahit, Mertasinga, Lohbener, dan lain-lain.
Setiap naskah setidaknya dapat dikaji dengan dua metode yaitu; Kajian bentuk dan Kajian Isi. Kajian bentuk, yaitu penelaahan naskah dari bentuk penyajian dan wujud bendanya. Untuk hal ini dapat digunakan pendekatan ilmu sastra maupun filologi. Sedangkan Kajian Isi ialah telaah isi atau substansi teks dari naskah dimaksud, dalam hal ini pendekatan yang lajim digunakan adalah menganalisa isinya (content analysis). Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang sebuah naskah, maka kedua bentuk pendekatan ini perlu dilakukan secara bersamaan. Pada kesempatan ini kita akan mencoba mengkaji "Masa Awal Indramayu" berdasarkan Babad Darmaju Naskah Kertasemaya dengan menggunakan kedua bentuk metode penyajian tersebut diatas.
Deskripsi Naskah Babad Dermaju
Babad Darmaju atau Babad Indramayu Naskah Kertasemaya, selanjutnya disingkat BINK, telah didigitalisasi oleh bagian Litbang Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta dengan kode LEKTUR DEPAG: B-4. Naskah ini sekarang tersimpan pada Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon di Jalan Gerilyawan No.04 Kesambi Kota Cirebon, dengan kode naskah: PKNP 36:B-4. Naskah tersebut telah selesai di alihaksara (transliterasi) oleh Muhamad Mukhtar Zaedin ( lahir di Desa Dukuhjati Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu ).
Dinamakan Babad Indramayu Naskah Kertasmaya karena awalnya naskah tersebut ditemukan dan dibeli oleh bapak Asteja bin Kamar dari seorang penduduk Desa Kertasemaya Kabupaten Indramayu pada tahun 1970an. Naskah BINK ditulis dengan tinta hitam menggunakan huruf Jawa/Carakan, berbahasa Jawa Cirebon-Indramayu. Ditulis pada kertas HVS bergaris ukuran 21x16,5 sentimeter dengan ukuran teks didalamnya 16 x 14,5 sentimeter.
Tebal naskah 177 halaman dengan jumblah baris dalam setiap halaman rata-rata berisi 14 baris, kecuali halaman 132 berisi 5 baris, dan halaman 172-173 berisi 28 baris. Penomoran halaman menggunakan pensil dibagian atas sebelah kiri. Naskah BINK terdiri dari 4 kuras yang rata-rata berisi 20 lembar kertas, dijilid dengan menggunakan kertas semen dan kertas bekas kalender yang dijahit dengan benang putih.
Secara fisik, kondisi Naskah BINK baik, utuh, dan tulisan terbaca dengan jelas, hanya ada tujuh halaman akhir bagian atas sedikit termakan tikus. Berkaitan dengan asal usul naskah yang ditelusuri pada awal (doxologi) dan akhir naskah (kolofon) tidak terdapat nama pengarang, penyalin, atau pemiliknya. Dari judul pada bagian depan naskah yang menggunakan tulisan latin tertulis ”Babad Darmaju T.H. 1959 A 1378”, patut diduga naskah BINK disalin pada tahun 1959 Masehi atau 1378 Hijriah.
Pada halaman 174 naskah BINK, terdapat petunjuk yang menyebutkan tata cara bertani menurut perjalanan tahun, dijelaskan sampai akhir halaman 177. Jadi ada tiga halaman tambahan yang keluar dari konteks Babad Indramayu. Lembar tambahan tersebut lazim ada pada naskah-naskah lama berbentuk Babad.
Kajian Isi Teks Babad Indramayu Naskah Kertasemaya.
Naskah BINK adalah naskah berbentuk Dangding atau Puisi Tembang menggunakan enam macam jenis pupuh yaitu: Sinom, Kinanti, Durma, Dangdanggula, Pangkur, dan Kasmaran. Isi teksnya menceritakan Babad Indramayu, yaitu peristiwa-peristiwa luar biasa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri Indramayu ketika awal mula membangun Nagari Darmayu dan peristiwa peristiwa sesudahnya. Seperti peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin yang dikenal dengan Perang Kedongdong yang terjadi pada zaman kolonial Belanda pada akhir abad ke-XIX. Secara ringkas, isi BINK dapat disimpulkan sebagai berikut:
Naskah diawali dengan menjelaskan asal-usul atau silsilah Wiralodra sebagai pendiri Nagari Darmaju, yaitu sebagai berikut Wiralodra adalah putra ketiga dari Raden Wiraseca, cucu Raden Singa Lodraka. Wiralodra mempunyai empat saudara yaitu : Raden Hayu Wangsanagara, Raden Hayu Wangsayuda, Raden Tanujaya, dan Raden Tanujiwa.
Menginjak usia taruna sebagaimana layaknya seorang ksatria, Raden Wiralodra mengasingkan diri bertiwikrama mengolah Jiwa dan Raga mendekatkan diri dengan Yang Maha kuasa selama tiga tahun lamanya, kemudian mendapat petunjuk mendengar suara yang memerintahkan untuk mencari hutan ditepian sungai Cimanuk yang terletak disebelah barat untuk membuat pemukiman yang kelak akan menjadi Negeri yang akan memulyakan Wiralodra sampai tujuh keturunannya. Setelah melalui proses pencarian yang panjang dan berliku-liku akhirnya tempat yang dikatakan dalam wangsit tersebut ditemukan.
Raden Wiralodra dengan dibantu oleh abdi setianya yang bernama Ki Tinggil melakukan Babad Alas ditepian Sungai Cimanuk untuk membuat pemukiman baru. Siang dan malam Raden Wilalodra dengan dibantu Ki Tinggil memgubah hutan menjadi hunian lengkap dengan kebun yang ditanami aneka macam palawija, boled/ubi, jagung, juga menanam gundem dan jewawut. Karena tepian sungai Cimanuk mempunyai tanah yang subur dan menghasilkan panen yang melimpahruah lama kelamaan terkenal dan banyak orang yang ikut bermukim serta berladang disana, hal itu tertulis dalam BINK sebagai berikut : ”....Boten wonten kakirangan, palawija tan kabukti, kawentar kabonnan nira, lamon bagus tanah neki, katha tiyang sami prapti, tumut wesma haneng ngriku, hawit tanemmane gemah, lumintu tiyang kang dugi, sami gemu kekebonnan warna-warna. Kathah tiyang damel wesma, manca negari nekani, Ki Tinggil kang dadi lurah, tan wonten kang kirang tedhi, hing kilen Cimanuk kali....”.
Tak terasa tiga tahun telah berlalu Wiralodra dan Ki Tinggil membangun Padukuhan Cimanuk, membuat Wilalodra kanggen untuk pulang ke Bagelen menemui kedua orang tuanya. Sebelum Wiralodra berangkat ke Bagelen beliau berpesan kepada Ki Tinggil untuk bermukim menunggu Padukuhan Cimanuk, barang kali ada orang yang datang mohon diterima dan jangan pernah ditolak.
Pada saat Wiralodra sedang berada di Bagelen menemui kedua orang tuanya, Padukuhan Cimanuk untuk sementara dipimpin oleh Ki Tinggil sebagai lurah, ketika itu kedatangan seorang tamu perempuan yang sangat cantik jelita dan masih gadis bermama Hindhang Darma/Endang Darma yang ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Tana dan Tani. Endang Darma memohon ijin pada Ki Tinggil untuk tinggal di Padukuhan Cimanuk, membuat rumah dan berkebun disana. Selain berkebun Endang Darma juga mengajarkan kesaktian, kedigjayaan dan berbagai macam ilmu yang memasyurkan namanya. Kesaktian dan kemasyuran Endang Darma sampai terdengar oleh Pangeran Guru Aryadillah di negeri Palembang.
Ternyata yang dilakukan oleh Endang Darma yaitu mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian merisaukan dan membuat marah Pangeran Guru Aryadillah sehinnga Pangeran Guru beserta murid–muridnya yang disebut Pangeran Selawe (Duapuluhlima Pangeran) P datang menemui Nyi Endang Darma di Padukuhan Cimanuk. Bentrokan pun terjadi antara Endang Darma dan Pangeran Selawe yang dipimpin oleh Pangeran Guru Aryadillah. Endang Darma ternyata Wanodya Kang Sakti Mandraguna dengan senjatanya, Patrem Manik Cucuk Gelung dan Wrayang, dapat melumpuhkan Pangeran Selawe yang dipimpin Pangeran Guru. Peperangan berakhir dengan meninggalnya Pangeran Selawe dan mereka dimakamkan didelakang Masjid Setanah Sindang sekarang. Adapun Nama-nama Pangeran Selawe yang dimakamkan disana tertulis dalam BINK adalah sebagai berikut :
1. Pangeran Guru Aryadillah
2. Pangeran Wisageni
3. Pangeran Brama Kendhali
4. Pangeran Brama Wijaya
5. Pangeran Brama Hudaya
6. Pangeran Brama Tanaya
7. Pangeran Brama Kesuma
8. Pangeran Brama Berrata
9. Pangeran Kesuma Dilaga
10. Pangeran Jaka Kesuma
11. Pangeran Rokmat
12. Pangeran Winata
13. Pangeran Suma Laga
14. Pangeran Brama Denta
15. Pangeran Berrama Suganda
16. Pangeran Hadi Negara
17. Pangeran Kusen
18. Pangeran Hammad
19. Pangeran Ngali
20. Pangeran Girinata
21. Pangeran Hamilaga
Setelah kematian Pangeran Selawe, Ki Tingil merasa ketakutan atas kejadian tersebut dan segera memberikan laporan kepada Wiralodra yang sedang berada di Bagelen. Laporan Ki Tinggil membuat Wiralodra segera kembali ke Padukuhan Cimanuk untuk meminta keterangan kepada Endang Darma atas semua kejadian yang terjadi selama kepergiannya. Ketika sampai di padukuhan Cimanuk dan bertemu dengan Endang Darma, Wiralodra tertegun mengagumi kecantikan Endang Darma. Endang Darma memberi alasan yang rasional tentang peperangan atau perselisihan yang menewaskan Pangeran Selawe pimpinan Pangeran Guru Aryadillah. Alasan yang dikemukakan oleh Endang Darma, diterima oleh Wiralodra dan Wiralodra berkata:
”...yen bener haturranneki, sanajan wong tuwahingwang, hingsun hora hameloni, heyang guru ingkang salah, nuruti nafsunireki,...”. Yang arti bebasnya ”...Jika benar keteranganmu, walaupun dia orang tuaku, saya tidak membelanya, Eyang Guru Aryadillah yang bersalah, menuruti nafsu dirinya...”
Sangat bijak apa yang dikatakan oleh Wiralodra, kesalahan yang dilakukan oleh Aryadillah, walaupun dia sebagai orang tuanya, Wiralodra tidak membelanya.
Akan tetapi, dengan penuturan Endang Darma yang begitu lincah dan memikat, menarik perhatian Wiralodra untuk memberi pancingan kepada Endang Darma untuk bertanding dengan jago-jago yang dibawanya dari Bagelen, dan yang sangat menggembirakan pertempuran adu kesaktian tersebut berujung pada kisah romantis dan manis antara Wiralodra dengan Endang Darma di puncak bukit, kisah tersebut diakhiri dengan terjunnya Endang Darma ke sungai Cimanuk. Dalam peristiwa inilah terjadi ”perjanjian lisan” antara Wiralodra dengan Endang Darma untuk menetapkan nama DARMAYU bagi nageri yang akan mereka pimpin. Nama DARMAYU ini diambil dari nama belakang Endang Darma yang ditambahi dengan kata sifat atau panggilan dari Endang Darma, yaitu Endang Golis (Geulis) atau Ayu.
Pada halaman 52 disebutkan: “...hawit kula kersane yang maha mulya, maksi panjang lampa habdi, hamung hanuhun nama, sampun hical nama kula, hawit babad cimanuk puniki, sareng babad lan kula, raden kaliyan habdi. lamon sampun hing benjang dados negara, hing kulon cimanuk kali, mugi den namanana DARMAYU benjang negara, nyahi hindang silem hing wari, hanang tuke cimanuk hukir....”
Wallahu ’alam bisshawab. Adat mufakat tiyang Darmayu, manusa panggonan salah lan luput, bongko kupat jangane santen, kula nyuwun agunging pangapunten.
No comments:
Post a Comment