24 Jun 2016

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR SUNDA bag 14



E.         SULTAN ABULFATH ABDULFATAH

Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom (tahun 1651), penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir Abdulkadir meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu.

Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.


            Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari hari, Sultan Abdulfatah dibantu oleh saudara saudara dan kaum kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara. Antara lain, empat orang saudara kandungnya, yaitu:

1.    Pangeran Kilen;
 2.    Ratu Kulon;
 3.    Pangeran Lor; dan
 4.    Pangeran Raja.

Serta empat orang saudara seayah, yaitu:

1.    Pangeran Wetan;
 2.    Pangeran Kidul;
 3.    Ratu Inten; dan
 4.    Ratu Tinumpuk.

Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah sangat besar perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering berkeliling ke daerah laerah, untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama dengan para pendahulunya, yang selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten terbuka bagi semua pedagang, dari manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan jujur.
            Terhadap Kompeni Belanda, Sultan Abdulfatah bersikap tegas dan keras. Dengan berpegang pada "amanat" kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang langsung sarang Kompeni Belanda ke Batavia, seperti yang pernah dilakukan oleh Mataram, merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal". Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni Belanda di luar sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya:

1.    Kompeni Belanda, harus dipancing keluar dari sarangnya;
 2.    Perkebunan tebu beserta kilang kilang penggilingannya harus dimusnahkan; dan
 3.    Jalur angkutan laut, yang membawa keperluan Kompeni dari arah timur, harus dipotong.

Untuk memenuhi strategi itu, Sultan Abdulfatah membentuk kekuatan:
 1.    Di laut, satuan satuan armada kecil; dan
 2.    Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dilatih bergerak cepat sebagai "satuan mobil", tanpa basis yang tetap (gerilya).

Mengenai satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi yang pernah dilakukan oleh leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut Wahanten Pasisir dan menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak cepat" itulah, yang ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, dalam satuan satuan kecil, beroperasi di belakang garis pertahanan Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan, menurut perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, disepakati bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane.
            Di wilayah perbatasan, pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan menghancurkan kilang penggilingan gula. Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda untuk mengadakan patroli terus menerus. Akan tetapi, setiap ada kesempatan, pasukan patroli Kompeni Belanda, disergap oleh pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten. Demikian pula halnya di perairan Ciasem dan Karawang, kapal kapal pengangkut dari arah Timur, dihadang oleh armada kecil pasukan Banten. Tujuannya, supaya kapal kapal itu, tidak akan pernah sampai ke Batavia.
            Dari sistem strategi dan aksi aksi yang dilakukan, terlihat watak maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan Abdulfatah, yaitu: lincah dan tidak senang menunggu. Semua aksi aksinya, dilakukan dengan tujuan untuk bisa mencegah "pembaharuan perjanjian", yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat menekan pihak Kompeni Belanda, agar bersikap "lebih lunak" dalam meja perundingan.
            Kompeni Belanda, yang semula bersikap "tenang" menghadapi Sultan Abdulmafakhir, hingga "berhasil" mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan" oleh kelincahan dan ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda berharap, dalam "pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami hambatan dan kesulitan.
            Sultan Abdulfatah, telah memusnahkan segala harapan Kompeni Belanda, mengenai "keuntungan" dagangnya dari Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni Belanda harus berhadapan dengan seorang penguasa Banten, yang tangguh dan berwibawa
            Sementara itu, pada tahun 1653, dalam tubuh Kompeni Belanda terjadi pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker diangkat menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Carel Reynierszoon. Maetsuycker, adalah tenaga akhli dalam bidang hukum, yang membantu Dewan Hindia Belanda, sejak masa GJ. Anthony Van Diemen (1636  1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai bergaul.
            Sebagai ahli hukum, Maetsuycker sangat mentaati aturan-aturan, yang telah digariskan oleh atasannya di Netherland. "Statuten Van Batavia", yang memuat peraturan peraturan tentang tata tertib kehidupan di Batavia, adalah hasil dari buah tangannya. Para Direktur Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi Maetsuycker, sehingga jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun, dipercayakan kepadanya sampai 7 kali (1653  1678).
            Maetsuycker tidak senang bertualang, selama 25 tahun menjadi Gubernur Jenderal, ia belum pernah meninggalkan Pelabuhan Batavia, kecuali untuk berburu di luar tembok kota. Untuk ukuran VOC yang bertugas di Nusantara, sikap Maetsuycker dinilai terlalu "halus" dan "hati hati". Akan tetapi, ia mempunyai dua orang kawan, yang sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni "tulen", yang menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar Jan Pieterszoon Coen, kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan, yaitu: mahir menjadi pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal.
            Baik van Goens maupun Speelman, telah mengamati nasib "Imperium Portugis" di kawasan Asia, yang tidak bertahan lama, karena bersifat "imperium laut murni" (hanya menguasai pelabuhan pelabuhan penting). Menurut pandangan mereka, pelabuhan harus memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas, sebagai sumber pangan, sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan musuh dari darat. Mereka mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan "lebih keras". Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman, saling mengisi dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh Sultan Abdulfatah, selanu 30 tahun.

Kembali ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya Kesultanan Banten, baik di darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda dengan memblokade Pelabuhan Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah mengadakan tekanan balasan di sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan di daerah Angke Tangerang. Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh Kompeni Belanda. Sebab di laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup, mengunggudi armada Kesultanan Surasowan Banten.
            Karena merasa lemah di sektor darat, Kompeni Belanda mencontoh strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten, derigan membentuk pasukan "pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk. Untuk memenuhi keperluan tersebut, banyak "budak" yang dibebaskan atau ditebus oleh Kompeni, dengan catatan bersedia menjadi tentara Kompeni Belanda.
            Menjelang akhir masa perjanjian, Kompeni Belanda mengambil prakarsa, mengirim perunding untuk menghadap Sultan Abdulfatah, sambil membawa usul usul baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda mengirimkan utusannya, dua kali pula Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak pernah mempercayai "niat baik" Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656, perundingan itu belum juga dapat dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang dimiliki oleh Maetsuycker, membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal, van Goens dan Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih keras.
            Pada tahun 1657, sikap "kehati hatian" Maetsuycker, hampir berhasil. Kesultanan Surasowan Banten, bersedia membuka jalur perundingan. Pertukaran nota, dilakukan sampai beberapa kali. Pada tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni Belanda, membawa usul "perdamaian", sebanyak 10 pasal:

1.    Kedua belah pihak, harus mengembalikan tawanan perangnya masing masing.
 2.    Banten harus membayar kerugian perang, berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
 3.    Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
 4.    Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki, atas biaya dari Banten.
 5.    Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan Kompeni di Banten.
 6.    Karena banyaknya barang barang Kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal kapal Kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
 7.    Setiap orang Banten yang ada di Batavia, harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya
 8.    Kapal kapal Kompeni yang datang ke Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
 9.    Perbatasan Banten dan Batavia, ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
 10. Untuk menjaga hal hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing masing.
 (Michrob,1993:137).

            Dengan tegas, Sultan Abdufatah menolak usulan tersebut, yang dinilai sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah menegaskan, bahwa jika Kompeni Belanda menuntut perlakuan istimewa dari Banten, maka sebagal imbalannya, pihak Kompeni Belanda pun harus memberikan perlakuan istimewa terhadap Kesultanan Surasowan Banten. Oleh karena itu, sebagai imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut:

1.    Menuntut, agar orang Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan mesiu di pelabuhan Batavia,
 2.    Menuntut, agar orang Banten, diijinkan langsung membeli rempah-rempah dan timah dari daerah produsen.

Sultan Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu tidak akan diluluskan oleh Kompeni Belanda, karena:

1.    Tuntutan yang pertama, artinya sama dengan menyuruh Kompeni Belanda, agar "bunuh diri". Sebab, peralatan peralatan yang dimaksud, pasti digunakan untuk menghadapi Kompeni Belanda.
 2.    Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran terhadap hak monopoli Kompeni, yang telah diperolehnya, dengan mengorbankan jiwa dan biaya yang cukup banyak.

Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda di Batavia menolak kedua usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada tanggal 11 Mei 1658, Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat, yang menyatakan bahwa "perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan tersebut, berarti menyulut sumbu perang terbuka.

Pasukan pasukan Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya sudah dipersiapkan dengan matang. Para komandan tempur dari berbagai tingkat, telah ditunjuk untuk menempati pos posnya masing masing.

1.    Arya Suryanata, di perairan Tangerang;
 2.    Tumenggung Wirajurit, di perairan Karawang;
 3.    Ratu Bagus Singandaru, di perairan Tanara;
 4.    Ratu Bagus Wiranatapada, di perairan Pontang;
 5.    Suranubaya, di perairan Labuhan Ratu; untuk mencegah pendaratan pasukan Kompeni Belanda di pantai Selatan.

Selain itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di pantai Caringin, perairan Selat Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan Purwakarti.
            Pasukan tempur darat dengan kekuatan 5,000 orang, segera dikirimkan ke daerah perbatasan Angke Tangerang, di bawah komando Senapati Ingalaga (nama ini sebenarnya berarti: Panglima Perang). la didampingi oleh Rangga Wirapata sebagal Wakil Panglima, dan Haji Wangsareja sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui jalan darat, selama 9 hari, pasukan tempur itu berangkat dari Ibukota Surasowan ke daerah Angke Tangerang.
            Sedangkan satuan Artileri Banten, khusus ditugaskan melindungi ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam. Sepuluh di antaranya, jenis canon (meriam besar), yang masing-masing diberi nama. Di antara meriam meriam itu: Si Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka, yang terkenal paling ampuh dan paling banyak mengenai sasaran.
            Pertahanan ibukota, dipusatkan di sekitar pelabuhan, untuk menjaga serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena dalam rangka blokadenya, Kompeni Belanda menempatkan satuan armada, yang terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk Banten. Kapal kapal milik Kompeni Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar Pulodua dan Pulolima. Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar semua moncong meriam diarahkm ke pantai Teluk Banten.
            Ketika Kompeni Belanda menyerang Surasowan dari taut, berhasil digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan Surasowan Banten, setelah melalui pertempuran sengit artileri sehari penuh. Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi, balasan dari pasukan ardleri Banten, yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak memberi peluang kepada kapal kapal Kompeni Belanda untuk mendekati garis pantai. Pertempuran sengit itu, berlangsung sampai senja hari.
            Sebelum malam tiba, armada Kompeni Belanda, mundur dari garis pantai pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju ke laut lepas. Pasukan pasukan itu tidak kembali lagi, selama perang antara Kesultanan Surawowan Banten dengan Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir satu tahun lamanya.
            Sementara itu, di garis depan Angke Tangerang, terjadi stagnasi. Pertempuran yang sudah berlangsung hampir satu tahun, belum ada pihak yang mendahului maju atau mundur. Padahal, dari kedua belah pihak, telah banyak korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini, Sultan Abdulfatah mengambil keputusan, untuk mengadakan penyegaran pasukan.
            Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan Arya Wiratmaja, ditunjuk untuk mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata. Kemudian Sayid Ali, ditunjuk menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka dibekali pasukan baru, untuk menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah memerlukan istirahat.
            Strategi militer Sultan Abdulfatah ini, dipandang sebagai ancaman baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan tenaga cadangan dan sulit mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda hanya mampu bertahan. Di Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota Dewan Hindia, mengambil keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada Sultan Banten, melalui jasa baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada tanggal 10 Juli 1659, di bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai Ingali Marta Sidana, bertindak atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung di Batavia. Sultan Abdulfatah sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal Maetsuycker.
            Sultan Abdulfatah, menyetujui dan menandatangani perjanjian "perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda, tidak menuntut hak monopoli. Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun menarik kembali tuntutannya, tentang hak membeli senjata dari Batavia, dan hak memperoleh rempah rempah (pala dan cengkeh) serta timah secara langsung dari produsen. Kompeni Belanda, diperlakukan sama dengan kongsi kongsi dagang lainnya, dan Kesultanan Surasowan Banten, tetap harus membeli bahan rempah rempah dan timah, dari pasar Batavia.
            Sebetulnya, titik berat dari perjanjian itu, adalah: pengukuhan garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane. Setiap pelanggar batas dari kedua belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap. Bagi orang Kompeni Belanda, yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten, kemudian memeluk agama Islam, dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian ditandatangani, harus dikembalikan ke Batavia.

Sebagai catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang asing, terutama bagi yang memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan Abdulfatah akan menawarkan pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila teknisi yang bersangkutan bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi jabatan resmi kepadanya. Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar kebangsawanan.
            Kemudian, Kesultanan Surasowan Banten harus membayar harga ternak, yang telah dirampas oleh pasukan gerilya Banten, dari para kawula Kompeni Belanda di sekitar Batavia. Kelak terbukti, bahwa para gerilyawan Banten, mengalihkan operasi "penyergapan ternak", ke daerah pedalaman Cileungsi dan Cianjur.
            Sedangkan konsesi bagi Kompeni Belanda, adalah kantor perwakilannya di ibukota Surasowan Banten, tetap diperbolehkan dibuka. Bahkan, biaya pemeliharaan kantor tersebut, menjadi tanggungan pemerintah Kesultanan Banten. Strategi Sultan Abdulfatah ini, bertujuan agar dapat mengawasi kegiatan Kompeni Belanda secara lebih ketat. Sebab, kantor perwakilan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, sekaligus berfungsi sebagai "sarang mata mata".

Adapun keringanan lain yang diperoleh oleh Komperri Belanda, antara lain sebagai berikut:

1.    Bila kapal Kompeni yang masuk pelabuhan Banten, atas permintaan kepala perwakilannya, atau terpaksa singgah karena memerlukan air, tidak dikenakan bea pelabuhan.
 2.    Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang yang dianggap terlarang, petugas pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya. Kemudian barang tersebut dikirimkan ke Jakarta.

Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu, sesungguhnya kedua belah pihak "memerlukan istirahat". Perang selama 11 bulan dengan keadaan "seimbang", telah ikut memperlancar tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan Kesultanan Surasowan Banten.


F.         NEGERI PERDAGANGAN MARITIM

Sultan Abdulfatah tidak pernah lengah akan kelicikan Kompeni Belanda, yang selalu memanfaatkan kesempatan, dengan cara mencari setiap kelemahan, untuk mencapai tujuannya, yaitu menanamkan hak monopoli atas perniagaan di Kesultanan Banten. Dalam masa damai di bawah perjanjian 10 Juli 1659, Sultan Abdulfatah mengisinya dengan memperbaiki keadaan dalam negeri. Sebab selama perang berlangsung, telah banyak hal yang terabaikan.
            Salah satunya, Sultan Abdulfatah memecahkan persoalan di pos pertahanan perbatasan di sebelah timur. Posko pertahanan sebelah timur ini, banyak mernakan biaya yang amat tinggi. Hal ini disebabkan, selain letaknya yang jauh, juga sarana perhubungannya sulit. Sehingga tempat itu baru bisa dicapai dari ibukota Surasowan, dalam tempo 9 hari perjalanan. Pada saat perang berlangsung, sepertiga dari pasukan yang dikirimkan ke perbatasan, ditugaskan untuk mengangkut dan mengelola perbekalan. Kondisi ini mengakibatkan daya guna pasukan relatif rendah, karena beban logistik yang terlalu berat.
            Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah mengambil tindakan dengan dua cara, antara lain sebagai berikut:

Pertama. Dibangun saluran secara berantai, dari Pontang ke daetah Angke Tangerang. Saluran itu, dibuat sepanjang jalan lama, dan dapat dilalui perahu perahu kecil. Dengan demikian, penggunaan tenaga manusia untuk angkutan barang, dapat dikurangi dan angkutan pasukan dapat dipercepat. Jalur itupun aman dan gangguan armada Kompeni Belanda, karena terletak cukup jauh dari pantai. Dari catatan Kompeni Belanda dapat diketahui, bahwa pembuatan saluran tersebut, dimulal tahun 1660 dan memakan waktu kira kira 10 tahun.

Kedua. Sultan Abdulfatah memindahkan penduduk sebanyak kira kira 6.000 jiwa, untuk dimukimkan di tempat-tempat tertentu, sepanjang saluran yang baru. Di sebelah kiri dan kanan saluran, masyarakat dianjurkan mencetak sawah. Strategi ini, bukan saja memperbanyak penduduk di sekitar wilayah timur, tetapi lebih mendekatkan sumber logistik ke daerah perbatasan.

Persiapan persiapan matang yang dilakukan oleh Sultan Abdulfatah, tidak Iuput dari intaian dan penilalan Kompeni Belanda yang semakin cemas dan gemas. Kompeni Belanda menyadari, tujuan Sultan Banten yang tangguh itu. Kecemasan dan kegemasan Kompeni Belanda, tampak dalam laporan Rijcklof Volckertsz van Goens, ketika ia telah menjabat kedudukan Gubemur Jenderal, kepada atasannya di Netherland, pada tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Banten harus ditundukan, bahkan dihancur-lumatkan, atau. Kompeni yang akan lenyap".

Kesultanan Surasowan Banten, dianggap sebagai saingan utama oleh Kompeni Belanda. Selain karena letaknya berdampingan dengan pusat kekuasaan Batavia, Banten pun merupakan sebuah negara maritim, dengan tulang punggung ekonominya mengandalkan perdagangan internasional. Terbukti, negara yang terletak di ujung barat Pulau Jawa itu, telah berhasil mengimbangi kekuatan militer Kompeni Belanda.
            Kecemasan pihak Kompeni Belanda, ditambah lagi dengan tindakan Mataram pada tahun 1661, yang mengirimkan koloni petaninya, sebanyak 500 orang ke Muara Beres, sebuah tempat di pinggiran Sungai Ciliwung. Di Muara Beres, yang terletak di antara Jakarta dengan Bogor, koloni Mataram ditugasi mencetak sawah baru. Muara Beres, pernah dijadikan pangkalan "pasukan rakit", ketika Sultan Agung Mataram mengerahkan tentaranya, untuk mengepung benteng Batavia.
            Peristiwa ini pun turut diperhitungkan oleh Sultan Abdulfatah. Sebab, Muara Beres terletak sejauh 4 jam perjalanan, ke sebelah timur dari Wales, pos terdepan pasukan Banten, dengan kekuatan 4.000 orang. Dari Wales, terdapat sebuah jalan darat melalui Pagutan (sebelah barat Ciputat), yang menuju Batavia, atau ke arah tenggara Muara Beres. Mata mata Banten mendapatkan, bahwa pemukiman orang Mataram itu, dihuni petani biasa (bukan tentara). Banyak di antaranya, orang Paledang (pembuat alat alat tembaga), dan mereka dianggap "tidak berbahaya".
            Selain pembangunan fisik, Sultan Abdulfatah, dengan jiwa "Maritim Banten" murninya mempererat hubungan dagang internasional, dengan kongsi kongsi dagang Eropa yang bukan Belanda. Dengan demikian, dapat diraih tiga macam keuntungan sekaligus, yaitu:

1.    Peningkatan ekspor;
 2.    Hubungan persahabatan dengan saingan saingan Kompeni Belanda;
 3.    Alih teknologi.

Melalui Kompeni Inggeris EIC (East Indie Compagnie), Sultan Abdulfatah, mengadakan kontak diplomatik dengan kerajaan Inggeris. Dari orang EIC, ia memperoleh informasi rahasia, tentang keadaan organisasi induk VOC di Netherland.
            Ketika pecah perang, antara Belanda dengan Inggeris dan Perancis pada tahun 1672, peristiwa itu segera diketahui oleh Sultan Abdulfatah, dari para pelaut Inggeris dan Perancis yang datang di pelabuhan Banten.

Dalam jalinan persahabatan internasional ini, Sultan Abdulfatah, mengundang para teknisi Eropa. Mereka dilibatkan dalam pembangunan kapal-kapal niaga, yang memiliki daya jangkau jauh, mampu berlayar hingga mencapai Philipina, Macao, Benggala dan Persia (Iran).
            Sebagian besar para teknisi Eropa itu, dilibatkan pula dalam perbaikan komplek keraton Surasowan. Istana yang megah itu, dibuat lebih indah dan lebih tahan dari serangan. Keraton Surasowan, dilengkapi pancuran dan danau buatan. Seluruh komplek, dilindungi tembok terbuat dari bata merah, yang cukup tebal. Pada sudut sudut benteng, ditempatkan menara jaga. Jalan masuk menuju komplek Istana, berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya, untuk menghindari pengintaian dari luar. Di sekitar tembok benteng, dibuat pula saluran yang cukup lebar. Jejak-jejak tangan teknisi Eropa, tampak berbaur dengan arsitektur tradisional.
            Selain Istana Surasowan di pusat ibukota, Sultan Abdulfatah pun membangun keraton baru di sebelah tenggara Pontang, tidak jauh dari pantai. Dalam sumber Belanda yang sejaman, keraton itu dilaporkan bercorak modern. Keraton dibangun untuk tempat tinggal Sultan Abdulfatah, dan berfungsi sebagai benteng cadangan, bila terjadi hal darurat di ibukota Surasowan. Karena keistimewaan sistem saluran airnya, keraton baru itu dinamai Tirtayasa. Dari nama keraton itulah, kelak Sultan Abdulfatah dikenang oleh rakyat Banten, sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
            Salah satu teknisi Eropa itu adalah Henrik Lucaszoon Cardeel, seorang "tukang batu" kelahiran Steenwijk, Negeri Belanda. Setelah Henrik Lucaszoon Cardeel masuk Islam, Sultan Abdulfatah memberikan gelar kebangsawanan, dengan nama Tubagus Wiraguna. Kelak, ia dihadiahi sebidang tanah di Batavia (daerah Ragunan, sekarang). De Haan berpendapat, bahwa nama tempat itu (Ragunan), merupakan singkatan dari Wiraguna (Lombard, 1996: 303).
            Upaya hubungan diplomatik dilakukan pula dengan Denmark. Melalui kongsi dagangnya, perjanjian dagang antara Banten Denmark, dapat ditandatangani tahun 1670. Hal tersebut, dapat dilihat dalam surat dinas Sultan Abdulfatah, yang ditulis menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab. Surat tersebut ditujukan kepada Raja Christian V Denmark, pada tahun 1671, yang isinya sebagai berikut:
            Ini surat menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Seri Sultan Abu'l Fath di Banten yang mengempukan tahta pekerjaan (sic) dalam negeri Banten khallada'llahu mulkahu wa sayyara a'naka a'adihi milkahu datang kepada raja Danamarka yang bernama Raja Kerristian anak Raja Parraiderrai yang mengempukan tahta pekerjaan dalam negeri Dananarka raja yang termashur gagah berani dalam segala negeri atas angin dan negeri bawah angin ialah raja yang amat bangsawan serta setiawan dan yang bijaksana pada memerintah segala pekerjaan di darat dan di laut serta mengelakukan isti'adat raja raja dalam negeri Danamarka.
            Adapun kemudian daripada itu bahwa surat dan bingkis daripada raja Kerristian itu telah sampailah kepada Raja Paduka Serri Sultan di Banten dengan sempurnanya. Maka apabila dibukalah surat itu daripada meterainya semerbaklah bau bauwan yang amat harum daripada kasturi dan `anbar akan mengatakan perkataan tulus dan ikhlas dan hendak berkasih kasihan. Sahdan barang maksud Raja Kerristian yang tersebut dalam kitabat itu telah diketahuilah oleh Paduka Seri Sultan di Banten, maka Paduka Seri Sultan pun terlalulah sukacita sebab mendengar perkataan Raja Kerristian yang tersebut di dalam kitabat itu.
            Sebermula Paduka Seri Sultan meminta kepada Raja Kerristian jual-jualan obat bedil pada tiap tiap masa kapal berlayar ke Banten sekira-kira obat bedil itu seratus pikul dan demikian lagi peluru bedil besar-besar.
            Shahdan Paduka Seri Sultan memberi Ma'lum kepada Raja Kerristian dahulu kala Kapitan Haddelar menitipkan lada kepada angabehi Cakradana banyaknya lada itu seratus bahara dan tujuh puluh enam bahara. Tamat (Naerssen,1977: 159).
            Sementara itu, di lingkungan Istana Kesultanan Surasowan Banten, pada tanggal 16 Februari 1671, Sultan Abdulfatah mengangkat Abdulkahar sebagai Pangeran Gusti atau putera mahkota. Abdulkahar, adalah putera Sultan Abdulfatah dari permaisuri Ratu Adi Kasum. Peristiwa ini, bertepatan dengan datangnya surat dari Syekh Mekah, yang memberi gelar kepada Pangeran Gusti, yaitu Sultan Abu'nasr Abdulkahar, yang kelak lebih dikenal sebagai Sultan Haji.
            Sultan Abu'nasr Abdulkahar, diberikan tugas dan wewenang untuk mengatur urusan dalam negeri Kesultanan Surasowan Banten. Sedangkan kekuasaan dan urusan luar negeri, sepenuhnya masih dipegang oleh Sultan Abdulfatah. Sejak itulah, Sultan Abdulfatah pindah ke kediaman yang baru, di Istana Tirtayasa
            Selanjutnya, pada tahun 1674, putera mahkota Sultan Haji, diperintahkan oleh ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus melakukan perlawatannya ke Turki, guna menjalin persahabatan dengan pusat kekuatan Islam dunia Petjalanan Sultan Haji dalam perlawatan diplomatik, memerlukan waktu 2 tahun.
            Kesultanan Surasowan Banten memanfaatkan masa yang relatif damai, berdasarkan perjanjian 10 Juli 1659, untuk mengungguli persiapan Kompeni Belanda. Setiap saat, perang antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, dapat saja meletus.

Hal yang meredakan ketegangan, di antara kedua belah pihak, adalah sikap Gubernur Jenderal Johan Maetsuycker. Sikapnya yang sangat hati-hati, membuat ia mengambil sikap netral, bila terjadi pertikaian di antara kerabat keraton di Nusantara.
            Saran van Goens dan Speeltnan, agar Kompeni bertindak cepat melumpuhkan Banten, tidak dihiraukan oleh Johan Maetsuycker. Kekhawatirannya, Kesultanan Surasowan Banten, bersahabat baik dengan kongsi dagang Inggeris dan Perancis, ketika pecah perang antara Belanda dengan Inggris Perancis tahun 1672.
            Sementara itu, untuk mengamankan hak monopoli rempah rempah di wilayah timur, Speelinan berhasil menggulung Ternate dan menundukkan Makasar. Dalam perjanjian Bongaya (1667), Makasar harus mengakui keunggulan Kompeni, dan kehilangan kebebasannya. Dalam kejadian ini, Cornelis Speelinan mengutamakan jasa baik Aru Palaka, Raja Bone yang terusir oleh Sultan Hasanuddin, ketika kerajaannya ditundukkan oleh Makasar. Tanpa bantuan Aru Palaka yang hafal keadaan daerah pedalarnan Makasar, belum tentu Kompeni Belanda berhasil menggulung kekuatan Makasar.
            Oleh sebab peristiwa itu, Sultan Ageng Tirtayasa, kehilangan sekutunya di kawasan timur. Sisa sisa laskar Makasar, banyak yang menyingkir, kemudian bergabung dengan laskar Banten. Dalam laporan perwakilan Belanda di Banten, diberitakan bahwa selama bulan Agustus dan September 1671, berturut turut telah datang ke Banten, 800 dan 300 orang Makasar. Mereka ikut memperkuat angkatan perang Banten.
            Ketika pecah pemberontakan Trunojoyo, bukan saja orang Makasar yang ada di Banten, melainkan juga laskar Banten ikut membantu gerakan bangsawan Madura itu. Bantuan senjata dan perbekalan, diberikan pula oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
            Akibat adanya persaingan kekuasaan di Pulau Jawa, terlebih setelah Sultan Agung Mataram menguasai Priangan, hubungan Banten dengan Mataram, tidak pernah mulus, cenderung mengarah kepada permusuhan. Koloni petani Mataram di Karawang, justeru selalu diganggu keamanannya oleh laskar Banten, bukan oleh Kompeni yang menjadi sasarannya.
            Karena persaingan itulah, walaupun secara resmi tidak pernah berperang, akan tetapi Sultan Ageng Tirtasaya tidak mau bekerjasama dengan Mataram, dalam perjuangannya ketika mengusir Kompeni dari Batavia. Kedua belah pihak saling membiarkan, bila salah satu pihak diancam Kompeni. Terbukti, Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan Kesultanan Banten sebagai pendukung Trunojoyo, dalam pemberontakan melawan Sunan Amangkurat I Mataram.

Peristiwa pemberontakan Trunojoyo, telah mempererat hubungan antara Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Banten. Sebagaimana telah dikemukakan, menurut penuturan Pangeran Wangsakerta, dalam peristiwa itu, kedua orang kakaknya, yaitu Samsudin Martawijaya dan Badridin Kartawijaya, tertawan oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Mereka bersama ayahnya, Panembahan Girilaya, tidak diperkenankan pulang ke Cirebon oleh Amangkurat I Mataram.
            Pemerintahan Pakungwati Cirebon, diwakili oleh Pangeran Wungsakerta, putera Panembahan Girilaya yang bungsu. Pangeran Wangsakerta segera pergi ke Banten, merninta jasa baik Sultan Ageng 'Tirtayasa, untuk membebaskan kedua kakaknya dari tangan Trunojoyo.
            Melalui sepucuk surat dari Sultan Ageng Tirtayasa, berangkatlah sebuah kupal perang Banten membawa perlengkapan menuju perairan Jaw a Timur. Menggunakan kapal itu pula, kedua pangeran Cirebon itu kembali ke pelabuhan Banten.
            Menurut Pangeran Wangsakerta sendiri, sesungguhnya Sultan Ageng Tirtayasa lah, yang melantik resmi (mewisuda) mereka bertiga, menjadi penguasa Pakungwati Cirebon. Masing masing, sebagai Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Wangsakerta sendiri sebagai Panembahan Cirebon. Menggunakan kapal perang Banten pula, mereka diantarkan ke Pakungwati Cirebon, untuk memulai tugas sebagai akhli waris Panembahan Girilaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1677.
            Akibat peristiwa itulah, hubungan kekerabatan antara Pakungwati Cirebon dengan Surasowan Banten, yang telah lama retak, dapat dipererat kembali. Sebagai sesama keturunan Susuhunan Jati Cirebon Syekh Syarif Hidayat, Sultan Ageng Tirtayasa, adalah saudara sepupu jauh ketiga orang penguasa Cirebon itu.
            Hanya saja, Kesultanan Surasowan Banten, tidak menyukai hubungan akrab antara Pakungwati Cirebon dengan Mataram, karena alasan politik. Sedangkan pihak Pakungwati Cirebon, mempunyai jalinan kekerabatan yang lebih dekat, dengan keraton Mataram. Ibunda Amangkurat I, adalah kemenakan Panembahan Ratu, buyut ketiga orang penguasa Cirebon tersebut. Selain itu, ibu dan isteri isteri mereka, juga puteri Mataram.
            Oleh sebab itulah, walaupun para penguasa Cirebon sangat berhutang budi kepada Sultan Ageng Tirtayasa, permintaan agar Pakungwati Cirebon memusuhi Mataram, tidak mungkin dipenuhi. Mereka hanya menjanjikan, akan mengambil sikap netral, bila terjadi perselisihan antara Banten dengan Mataram. Hal ini merupakan suatu keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, bagi kepentingan politik diplomasi Kesultanan Surasowan Banten, yang telah berhasil menetralkan sekutu utama Mataram di kawasan Tatar Sunda.
            Dalam peristiwa Trunojoyo ini, Speelman mengusulkan agar Kompeni Belanda memulihkan kedudukan penguasa Mataram, dengan tujuan mendapatkan wilayah, sebagai tebusan biaya perang. Selain itu, Speelinan pun mengusulkan, supaya Trunojoyo beserta sekutunya, yaitu Kesultanan Surasowan Banten, segera dilumpuhkan. Akan tetapi, Gubemur Jenderal Maetsuycker, yang selalu hati hati, tidak menerima usul tersebut.
            Maetsuycker mengijinkan Speelman membawa armada Kompeni ke Japara, untuk mengatasi kekacauan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini Johan Maetsuycker berpesan, agar Speelman mendesak Amangkurat I dan Trunojoyo untuk berdamai kembali. Anjuran Speelman diterima baik oleh Amangkurat I, namun ditolak oleh Trunojoyo.
            Selanjutnya, Speelman segera bertindak merebut Surabaya, yang telah dikuasai`pasukan Trunojoyo, mengambil alih benteng pasukan Makasar di Gogodog dan perbatasan Balambangan, dan menyerang Arosbaya di Madura. Akan tetapi, Speelman kembali ke Japara, tidak meneruskan gerakannya.
            Trunojoyo yang cerdik segera membuntutinya, menyeberangi Selat Madura. Pada tanggal 2 Juli 1677, langsung menyerbu ibukota Mataram, serta berhasil merebut dan mendudukinya. Pusaka pusaka Mataram, termasuk mahkota Majapahit, diboyongnya ke Kediri sebagai tempat kedudukannya.
            Akibat serbuan Trunojoyo, Maetsuycker yang semula bersikap netral, karena menganggap sebagai konflik intern keraton, akhirnya mengambil sikap memihak Susuhunan Matarain. la berkirim pesan kepada Speelman, agar mengambil langkah langkah untuk pemulihan kedudukan Sunan Mataram.
            Setelah Amangkurat I meninggal dunia, dalam pengungsian ke benteng Kompeni di Tegal Arum, pada bulan Oktober 1677, Speelman mengadakan pertemuan dan perjanjian dengan Adipati Anom, putera mahkota Mataram. Berdasarkan pertemuan itulah, akhirnya perlawanan menghadapi Trunojoyo tidak dilakukan oleh Mataram, melainkan oleh Kompeni Belanda. Selanjutnya, setelah Trunojoyo tertawan, ia beserta mahkota Majapahit, diserahkan oleh Kompeni kepada Sunan Amangkurat II. Karena peristiwa itulah, Mataram resmi menjadi vazal Kompeni Belanda.
            Akan tetapi, penumpasan gerakan Trunojoyo itu, tidak sempat disaksikan oleh Johan Maetsuycker, yang meninggal dunia pada tanggal 4 Januari 1678. Sebagai penggantinya, Para Direktur Kompeni Belanda di Netherland, mengangkat Rijcklof Volckertsz van Goens, orang yang sepaham dengan Cornelis Speelinan, sama sama penganut garis keras.
 Terjemahan:


 Teriwayatkan, Ki Cakrabumi dan adiknya (Larasantang) pergi berkunjung ke Gunung Amparan Jati, ke tempat tinggal guru mereka Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Maulana Idlofi nama lainnya, kemudian memberi petunjuk kepada muridnya itu. Sang guru mengingatkan, "Anakku, agar kamu berdua sama sama mendapatkan kesempurnaan Islam, pergilah kalian ke Baltullah negeri Mekah di tanah Arab".

            Sesudah memperhatikan nasihat gurunya, Ki Samadullah dan adiknya, pergi berlayar untuk menunaikan ibadah Haji. Sedangkan isterinya Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis, tidak bisa ikut, karena sedang hamil.
            Pangeran Walangsungsang bersama Nyai Larasantang, berlayar menuju Tanah Arab. Di tengah perjalanan, kapal layarnya singgah di negeri Mesir. Beberapa orang pembesar dari negeri Mesir, naik ke kapal layar, degan maksud yang sama, untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah. Tidak terkisahkan lamanya perjalanan. Akhirnya, kapal layar yang ditumpangi Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larasantang, tiba di pelabuhan Jedah. Kedua kakak beradik dari Cirebon Pasisir itu, menjadi perhatian seorang Walikota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun. Syarif Abdullah, adalah keturunan Bani Hasyim, yang pernah berkuasa atas wilayah Palestina. la. menjadi Walikota Mesir, di bawah kekuasaan Sultan Mesir wangsa Ayubi, dari Bani Mameluk.
Syarif Abdullah adalah putera Ali Nurul Alim.
Ali Nurul Alim putera Jamaluddin Al Husain (Kamboja).
Jamaluddin Al Husain putera Ahmad Shah Jalaluddin.
Ahmad Shah Jalaluddin putera Amir Abdullah Khanudin.
Sedangkan Amir Abdullah Khanudin, generasi ke I7 keturunan Rasulullah Muhammad.
Kembali kepada Syarif Abdullah.
Ternyata, Syarif Abdullah telah jatuh cinta, kepada Nyai Larasantang. Terpikat oleh puteri keraton Pajajaran yang cantik jelita, samyasanya sang candreng patwelas suklapaksya (bersinar bagaikan benderangnya bulan tanggal empat belas).

Di tanah suci Mekah, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah (Walikota Mesir), sama sama tinggal di rumah Syekh Bayanullah, adiknya Syekh Datuk Kahfi. Di rumah Ki Bayanullah itulah, Nyai Larasantang dan Syarif Abdullah Saling jatuh cinta dan mengikat janji.

No comments:

Post a Comment