III. JEJAK
AGAMA SUNDA
Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung
Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, ditemukan pula batu batuan
berbentuk dolmen, di antaranya:
1.
Batu Ranjang. Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan
Cimanuk.
2.
Batu Pangasaman. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3.
Batu Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan
Mandalawangi.
Sedangkan batu batu yang ditemukan
dalam bentuk lain, diduga memiliki nilai kepurbakalaan, antara lain:
1. Batu Sanghiyang Kotok. Lokasi di lereng
Gunung Pulasari.
2.
Batu Cangkrung. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3.
Batu Keris dan Bata Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa
Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
4.
Batu Kuda I. Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5.
Batu Kuda II. Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa
Parigi, Kecamatan Saketi.
6.
Batu Qur'an. Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7.
Batu Notod. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8.
Batu Saketeng. Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9.
Batu Tumbung. Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan
Cimanuk.
10. Batu Kasur. Lokasi di Kampung
Nembol, Kecamatan Mandalawangi.
11. Batu Tongtrong. Lokasi di Desa
Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12. Batu Kolam Citaman. Lokasi di
Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
Di kawasan Popinsi Banten, masih
terdapat gejala religi "agama masa silam", dan masih dianut oleh
kelompok masyarakat yang menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal).
Hal ini diperkuat oleh laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun
1908, dalam laporan resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929: 47), yang dikutip
Judistira Garna dalarn bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan kepercayaan, orang
orang Baduy merupakan kelompok yang mewakili suatu zaman peradaban Pasundan
yang telah silam. Meskipun kita telah jauh dari pengetahuan yang pasti tentang
satu dan lainnya mengenai pandangan mereka namun melihat keterasingannya yang
ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa mereka itu bukan
penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan pula penganut suatu sekte Hindu ataupun
Buddha.
Walaupun kurang terdapat keterangan
terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat
serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk
oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama
Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987: 61)
Mengenai jejak religi masa silam
seperti itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain
sebagai berikut:
Sesuai dengan kehidupan leluhurnya
yang masih biasa berpindah pindah tiap habis musim panen, watak agama yang
diwarisinya lebih sederhana dalam arti: praktis, akrab, dengan alam dan lebih
mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat dilaksanakan di
manapun mereka berada.
Akrab dengan alam sehingga lebih
mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan masa. Lebih
mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak didasarkan
kepada nilai-nilai materil benda benda upacaranya melainkan dalam hati dan
tingkah laku.
Jelas upacara upacara dalam agama
Hindu yang penuh formalitas dengan urutan yang ketat serta mantera mantera yang
tak boleh salah ucap atau salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang
diwarisi dari para leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh
sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai batu
itu ditinggalkannya karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis.
Namun, sejenak kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar
merupakan modal mereka yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib
(Danasamita,1984: 43).
Situs religi masa silam terbesar di
wilayah Propinsi Banten, berupa peninggalan dari masa pra Hindu, dengan
ditemukannya beberapa punden berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan
peninggalan tersebut, diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak Sibedug
dan Arca Doms di Banten Selatan(1993), antara lain sebagai berikut:
Undakan batu di Kosala terdiri 5
tingkat yang pada setiap tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai
sebuah papan batu (lab stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian bawah yang
terpendam dalam tanah terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor) yang
bergaris tengah antara 10 15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat struktur
berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke depan, salah satu di antaranya
seperti dalam sikap mangacungkan ibujari.
Arca Domas adalah bangunan berundak
dengan 13 tingkatan dan pada tingkat paling atas terdapat sebuah menhir
berukuran besar, yang pemercaya dianggap melambangkan Batara Tunggal, Sang
Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh roh akan kembali.
Monumen Lebak Sibedug juga merupakan
bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak batu ini
terdapat dataran yang di tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir pusat ini ditunjang
oleh batu batuan berukuran kecil (Michrob,1993: 5 6).
Dalam naskah kuno Kropak 630
Sanghiyang Siksakandang Karesian, 'terdapat jejak "agama asli" yang
jauh lebih mendasar, jika dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan
Budhisme. Hal tersebut pernah dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dalam dasaperbakti di antaranya
disebutkan, "ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang" (raja
tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang lah yang paling
tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa
dan lain lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat
(penguasa alam) "nu ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur dunia
gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda = sempurna;
niskala = gaib). Nama itu dapat diartikan "Yang Maha Gaib"
(Danasasmita, 1984:41).j
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang
terdapat di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah dipindahkan
ke museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak oleh
kebangkitan kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan
itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga
Sanghiyang Dengdek disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai
bergaya "primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama
leluhur Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca
Hinduisme, dari pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang
Dengdek.
Tidak menutup kemungkinan,
peninggalan kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya
(Karawang), terkuburannya menjadi bukit bukit (hunyur), kemungkinan ada unsur
kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan
adanya para wiku "nu ngawakan Jati Sunda" yaitu para pendeta yang
khusus mengamalkan "agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan
parahiyangan". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyangan sepeti itu
adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur
mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan
“Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu
("Baduy dalam") adalah keturunan "para wiku", orang
panamping ("Baduy luar) merupakan keturunan "kaum sangga".
Mereka bertugas melakukan "tapa di mandala" dan sudah menjalankan
tugas tersebut secara turun temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran
berdiri (Danasasmita,1984: 41).
Sendi sendi religi masa silam pra
Hindu di seputar lereng dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang
merah religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan
"Pitarapuja Hiyang" nya; bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda,
Galuh, Pajajaran dengan "Hiyang Seda Niskala" nya, terlestarikan
dalam refleksi masyarakat Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan Agama
Sundanya.
IV. MELACAK
RAJATAPURA
Ayatrohaedi, dalam makalah Naskah
dan Sajarah (1989), mengemukakan tentang permulaan lahirnya ilmu arkeologi,
antara lain sebagai berikut:
Sebagai seorang anak Eropah, sudah
sejak kecil Heinrich Schhemann berkenalan dengan mitologi Yunani yang dianggap
sebagai salah satu akar kebudayaan Eropah masa berikutnya. Selain di sekolah,
mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya, para
tetangganya, dan buku buku yang dibacanya. la sangat tertarik oleh kisah Perang
Troya yang menggambarkan bagaimana sebuah kota yang kokoh akhirnya dapat
direbut berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata
berkepanjangan menjadi tandatanya besar baginya. Mungkinkah kisah yang demikian
nyata itu, benar benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa
yang tetjadi? Jika orang lain beranggapan kisah itu sekadar mitos, tidak
demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada
suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya
itu.
Kebetulan orangtuanya pedagang kaya,
dan juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan dukungan dana dari
orangtuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia
memutuskan untuk pergi ke Yunani. Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di
sana ada sebuah kota dan peradaban yang bernama Troya, melainkan lebih
disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu. Bersama dengan istri
dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat
yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya.
Berhari hari mereka menggali di
situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali
Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihujamkan ke tanah
mengenai sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan
penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu
tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai
widyapurba atau arkeologi (Ayatrohaedi,1989: 1-2).
Untuk memberikan ilustrasi yang
lebih jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa lainnya, mengenai keterkaitan
antara naskah dengan pembuktian sejarah, antara lain sebagai berikut:
Dalam pada itu, nenek moyang orang
India meninggalkan dua buah wiracarita yang terkenal, Mahabharata karya Wyasa
dan Ramayana karya Walmiki. Menurut para ahli bahasa, kedua naskah itu berasal
dari kurun masa antara 400 sM -400 M. Seperti juga halnya dengan kisah Troya,
para pembaca naskah itu umumnya menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar
dongeng, kalaupun bukan mitos. Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada raja
orang yang tidak percaya akan keasaldongengan kedua wiracarita itu. Inggris
yang ketika itu menjadi yang dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang
warga yang menganggap bahwa kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya
tersembunyi di balik kisah tersebut.
Berbekal anggapan itu, mereka
mencoba menggali dan menemukan kota yang seharusnya menjadi pusat kerajaan
Indraprahasta (kita mengenalnya dengan nama Amarta), di daerah sebelah barat
daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New Delhi). Hasilnya? Bekas
kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke 12 sebelum Masehi (1150
sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam kesumat antara Rama dengan
Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa sengketa antara orang
Singhala di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil yang tidak mustahil keturunan
Subali dan Sugriwa. (Ayatrohaedi,1989: 2 3).
Dari dua ilustrasi yang dicontohkan
oleh Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang jelas, bahwa naskah dongeng
sekalipun, dapat dimanfaatkan sebagai pemandu pembuktian sejarah. Karena masa
penulisannya yang tidak muasir itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian ,jika
seseorang bermaksud menggunakan naskah sebagal sumber sejarah, termasuk naskah
naskah yang sebenarnya menyebut dirinya sajarah, hikayat, asal usul, silsilah,
carita, tambo, atau babad. Betapapun, nama-nama yang disandangnya itu
mengisyaratkan bahwa sampai taraf tertentu, naskah naskah itu dapat
dimanfaatkan sebagai sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989: 6).
Kembali ke masalah Salakanagara,
Dewawarman dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan para akhli. Di
Gunung Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude Guillot, sesungguhnya
merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara. Guillot mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari berbagai sisi, arca arca itu
penting untuk pokok pembicaraan ini. Pertama, meskipun muka arca arca itu sudah
dirusakkan (pada masa Hasanuddin?), gayanya sangat berbeda dari gaya arca
Sunda, dan persis serupa dengan gaya akhir periode Jawa Tengah, artinya dapat
ditentukan berasal dari paro pertama abad ke 10. Kedua, dapat dilihat bahwa
arca-arca itu merupakan kelompok arca dewa yang terdapat dalam setiap arca dewa
yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa
yang amat sering terdapat di Jawa), Durga (yaitu Parvati, sakti Siwa) dan
Ganesha (putra Siwa), serta lingga yang sudah hilang, namun semula sudah barang
tentu bersatu dengan yoni. Wahana (vahana) Siwa, yaitu sapi Nandi, mungkin
sekali juga sudah hilang. Kehadiran arca Brahma barangkali menunjukkan bahwa,
seperti di Prambanan, candi utama Siwa diapit oleh candi Brahma dan candi
Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak ditemukan kembali. Ketiga, seperti
dijelaskan dalam surat asisten residen tersebut, arca arca itu terdapat di
Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat kawah yang oleh C.W.M. van de Velde
digambarkan dalam sebuah etsa yang termasyhur pada pertengahan abad ke 19,
pasti tidak lama sesudah pengangkatan arca-arca tersebut (Guillot,1996:102).
Guillot sudah menduga, bahwa arca
arca hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu, berasal dari peninggalan
Hinduisme. Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil kajian para akhli tentang
Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam perkembangan selanjutnya.
Sementara itu, dalam naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 158-160, terdapat suatu
riwayat tentang pernah dibuatnya candi beserta arca arcanya oleh Dewawarman
VIII (240 362 Masehi), antara lain sebagai berikut:
...// diwasa sang de-
wawarman astama nyakra-
warti i bhumi Jawa ku-
lwan ring samangkana pra-
nah ing janapada rikung
kreta subhika//...
...// sang raja gawe
ta sira candi lawa-
n pratistha ing siwa ma-
hadewamardhacandra-
kapala // lawann ganaya-
nadewa /juga hya wi-
snudewa / anggwa sira
sakweh ing wa(i)snawa//ma-
pan siwa kabeh jana-
pada padaherup hu-
rip tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada masa Dewawarman kedelapan
memerintah di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu kehidupan warga masyarakat ada
dalam keadaan makmur sejahtera. Sanghyang Agatna senantiasa dihormati,
dipelihara dan sangatlah baik karenanya. Di antara warga masyarakat yang memuja
Hyang Wisnu tidak seberapa banyaknya. Ada yang memuja Hyang Siwa. Ada yang
memuja Hyang Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu.
Maka demikianlah pemuja Hyang
Ganayana [atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan ini banyak pengikutnya.
Adapun mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya berburu di hutan
pegunungan, berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan di tengah lautan
sepanjang tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan,
bertani dan sebagainya.
Sang Raja membuat candi, serta
patung Siwa Mahadewamardhacandrakapala dan Ganayanadewa, juga Hyang Wisnudewa.
Anutan mereka sekalian Waisnawa. Karena sekalian warga masyarakat, mengharapkan
hidup lanjut dan selamat.
Temuan arca-arca di "Candi
Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude Guillot, ternyata mendapat
penjelasan dari naskah Pangeran WangIsakerta. Kekunoan arca arca tersebut,
sangat berbeda dengan arca arca lain
yang lebih muda, yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena
kekunoannya itulah, Guillot mempersoalkan "arca-arca itu sudah dirusakkan
(pada masa Hasanudin?)". Akan tetapi, pada bagian lain, Guillot
menjelaskan, antara lain sebagai berikut:
Arca-arca yang disebutkan sebagai
"arca Caringin" itu telah dilupakan lama sekali sejak diangkut ke
Jakarta, dan di sana tercampur dengan ratusan arca lain yang sejenis, sehingga
hilang keunikan tempat asalnya. Meskipun demikian arti pentingnya tidak luput
dari perhatian R Friederiich pada tahun 1850. Dalam sebuah kajian mengenai gaya
arca-arca yang disimpan di Museum Batavia, ia menulis tentang arca Ganesha,
sebuah ulasan yang layak dikutip: "Bahwa arca semacam itu, beserta
beberapa arca lain yang bergaya lama, telah ditemukan di daerah Banten, di
bagian Pulau Jawa yang paling barat, berarti bahwa peradaban dan seni Hindu
telah tersebar sampai ke pantai itu. Sejarah kerajaan yang telah melahirkan
peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama kerajaan itu, untuk sementara belum
dapat dipastikan. Jelas peninggalan kuno itu tidak dapat dianggap berasal dari
Kerajaan Pajajaran sebab segala peninggalan dan segala sesuatu yang kita
ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di bidang ilmu
pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan Majapahit jauh dari menyamai
peninggalan masa masa sebelumnya (Guillot,1996:103).
Bagian yang terpenting dari
pernyataan Guillot, terdapat pada bagian akhir (kesimpulan), yang kutipannya
antara lain sebagai berikut:
Maka kami menarik kesimpulan bahwa
peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa sebelum masa Pajajaran terdapat
sebuah kerajaan Hindu di Banten (Guillot,1996:108).
Kutipan tersebut sangat berharga,
memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa Pajajaran. Oleh karena itu,
penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung Pulasari Pandeglang, sebagai tempat
asal (insitu) arca arca Hinduisme itu pernah berada. Saleh Danasasmita,
menunjuk muara Sungai Ciliman di wilayah Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat
kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota Palembang di Sumatera Selatan,
antara abad ke 7 hingga abad ke-11, berada tepat di pantai. Sedangkan Palembang
sekarang, posisinya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 8 9 kilometer.
Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa Tengah). Akibat endapan lumpur
Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang (Demak) pada abad ke 11 (masa
kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria menjadi satu dengan Pegunungan
Kapur pantai utara (Blora) di Jawa Tengah (Daldjoeni,1984).
Pelabuhan Aruteun terletak di muara
Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane terletak jauh ke dalam,
karena garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu jauh berbeda dengan
sekarang. Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis pantai Laut Jawa
sekarang ialah hasil endapan selama lima belas abad (Muljana,1980:13).
Begitu pula hal yang sama, bisa saja
terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan di pantai barat Pandeglang.
Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan oleh Dewawarman tahun 130
Masehi (1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan Mandalawangi, kurang lebih
8 10 kilometer dari garis pantai, berada di pesisir barat Pandeglang.
Kemungkinan tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M. Barmawijaya (akhli
geologi), bahwa posisi pantai barat Pulau Jawa abad ke 2 Masehi, berada pada
ketinggian 120 meter di atas permukaan laut, saat ini (18 Maret 2001).
Lokasi Rajatapura sebagai ibukota
Salakanagara, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga
1, halaman 154, terungkap sebagai berikut:
....//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
Terjemahannya:
Adapun wangsa Dewawarman memerintah
kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan bernama
Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara kebetulan, di situs
Cihunjuran (Desa Cikoneng Kecamatan Mandalawangi), juru pelihara Burhan,
menyimpan sebuah batu bulat elipsis (panjang 24 cm, lebar 18 cm, tinggi 9,5
cm). Di salah sate permukaan batu itu, terdapat titik titik dan garis garis yang
terukir mirip peta. Oleh karena itulah, Burhan menyebutnya "Batu
Peta".
Setelah dicoba dikaji bandingkan,
dengan peta topografi Pandeglang (cetakan Belanda tahun 1938), terindikasi
adanya beberapa ketepatan. Titik-titik dan garis-garis yang terukir pada
"Batu Peta", sebagian besar bertepatan dengan peta lokasi situs
kepurbakalaan, yang tersebar di sekitar lereng Gunung Pulasari. Kemudian, titik
terbesar yang berbentuk persegi empat, berada di tengah tengah, bertepatan
dengan posisi kota Kecamatan Mandalawangi sekarang. Posisi kota Kecamatan
Mandalawangi, ditinjau dari segi pertahanan keamanan, sangat strategis,
terlindung oleh 3 buah benteng alam: Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung
Karang. Oleh karena itu, posisi Mandalawangi, diduga kuat, bekas lokasi Rajatapura
ibukota Salakanagara,
WALLAAHU 'ALAM BISHOWAAB
No comments:
Post a Comment