Setiap kehidupan yang mawana tentu
mempunyai alamnya masing masing…baik itu kehidupan mahkluk didaratan diudara
maupun dilautan…masing masing dengan dunianya..(alamnya)….tiadalah kita
mengetahui ..bagaimana hakekat dari suatu keadaan kehidupan mahkluk mahkluk
tersebut tanpa kita menyelami dan memasuki alam dari kehidupannya itu...
didalam olah kepribadian..diterangkan....jika hakekat seluruh alam adalah diri kita..maka tiada yang diluar itu…memahami yang dluar itu hakekatnya adalah memahami yang di dalam diri ini…...owah gingsirnya bathin kita sangat berpengaruh pada kehidupan ARASY-mikro dan makro-kosmos ..jagad agung ..jagad alit..dialam raya ini....menyelam sedalam dalamya kedalam samudra minang kalbu..yang didalamnya terdapat beraneka ragam kehidupan mikro makro kosmos mahkluk segenap sagung dumadi…mencebur kedalamnya dan luruh bagai menyatu mampu lebur didalam setiap kehidupan..betapa kita semakin mampu mengenal diri kita yang hakekatnya adalah hidup didalam semua kahanan...setiap sesuatu yang nampak dihadapan kita ..hakekatnya gambaran pancaran wujud dari sebagian pribadi kita yang nampak …bagai bercermin didalam diri …CERMIN DIRI akan kembali memantulkan biasnya sesuai dengan owah gingsirnya bathin kita…...PANEMBAHAN SENOPATI….mencapai puncak sholatul ilmi-nya…..ketika beliau tafakur dan tadabur….terkenal dengan istilah SEDAKEP SALUKU TUNGGAL….mencapai kehampaan diri dan menemukan hakekat hidup yg sebener benernya tentang DIRI dan PRIBADI……….yang mampu mengguncang istana DASAR SAMUDRA BIRU…
didalam olah kepribadian..diterangkan....jika hakekat seluruh alam adalah diri kita..maka tiada yang diluar itu…memahami yang dluar itu hakekatnya adalah memahami yang di dalam diri ini…...owah gingsirnya bathin kita sangat berpengaruh pada kehidupan ARASY-mikro dan makro-kosmos ..jagad agung ..jagad alit..dialam raya ini....menyelam sedalam dalamya kedalam samudra minang kalbu..yang didalamnya terdapat beraneka ragam kehidupan mikro makro kosmos mahkluk segenap sagung dumadi…mencebur kedalamnya dan luruh bagai menyatu mampu lebur didalam setiap kehidupan..betapa kita semakin mampu mengenal diri kita yang hakekatnya adalah hidup didalam semua kahanan...setiap sesuatu yang nampak dihadapan kita ..hakekatnya gambaran pancaran wujud dari sebagian pribadi kita yang nampak …bagai bercermin didalam diri …CERMIN DIRI akan kembali memantulkan biasnya sesuai dengan owah gingsirnya bathin kita…...PANEMBAHAN SENOPATI….mencapai puncak sholatul ilmi-nya…..ketika beliau tafakur dan tadabur….terkenal dengan istilah SEDAKEP SALUKU TUNGGAL….mencapai kehampaan diri dan menemukan hakekat hidup yg sebener benernya tentang DIRI dan PRIBADI……….yang mampu mengguncang istana DASAR SAMUDRA BIRU…
Setelah bersemedi di tengah samudera pantai Parangritis
memohon kepada Gusti Allah agar dirinya diizinkan untuk menjadi raja di tanah
jawa, Senopati lalu berjalan di atas air menuju darat, jalannya bagaikan
berjalan diatas tanah saja hebatnya selama bersemedi ditengah samudera badannya
tidak basah walau diterjang ombak berkali-kali. Begitu dekat dengan bibir
pantai alangkah terkejutnya dia melihat Sunan Kalijaga berdiri disana. Dia lalu
bersujud dan memohon ampun karena telah berani menyombongkan diri dengan
ilmunya itu..
Sunan Kalijaga lalu berkata "Bangunlah hai putera
Ki Gede Pamanahan, janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan
keserakahan, enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka
Tingkir!". Senopati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya padanya
"apakah benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah jawa
ini?", Senopati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi
"meskipun itu berati kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah
angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang
selama ini menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat alamrhum ayahmu
mengabdi?", Senopati lalu menundukan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya
meleleh lalu pelan berkata "Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti
Allah namun belum mendapatkan petunjuknya, mungkin Gusti Allah memberikan
petunjuknya lewat Kanjeng Sunan", Sunan Kalijaga tersenyum lalu kembali
membuka mulutnya "Baiklah Senopati akan kuberikan pelajaran yang amat
tinngi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat"..
Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan
wejangannya, lalu sambil duduk diatas sebuah batu karang dia memulai
wejangannya kepada Senopati "Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat
penghancur untuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebhatilan,
diganti dengan yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena
perombakan dar yang silam yang manusia rusak sendiri. Agama Islam lahir sebagai
agama penutup, tidak akan ada lagi agama yang diridhai oleh Gusti Allah selain
Islam, Kitab suci Al Qur'an lahir sebagai pelengkap dari semua kitab suci
sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Memang sudah menjadi takdir Hyang
Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelum Al Qur'an itu akan selalu memusuhi
para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk masuk Islam, dan diantara
para pemeluk Islam pun akan selalu muncul perbedaan, hal itu dikarenakan
terbatasnya daya berpikir manusia yang tidak akan pernah bisa menyingkap takdir
Illahi"..
Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan
tangannya lalu melanjutkan ucapannya "Tanpa persengketaan manusia tidak
akan bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perangpun semua mahluk akan
menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia yang
baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah seterusnya
seperti alam raya yang terus bergerak gberputar tak pernah diam, demikian pula
pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti. Manusia
sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi, kanak-kanak, dewasa sampai
kemudian mati, bagi yang tawakal berserah diri kepada Gusti Allah tidak akan
goncang hatinya. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan
kehidupan agar manusia menjadi sadar, bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia
ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu
adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan.
Perjalan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap,
ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa. Usia hidup
dialam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila
dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu terimalah
segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas nerima kepada yang telah
digariskan oleh Gusti Allah.".
Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya
"Atma atau roh itu tak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat
dilihat, tak dapat dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh
walaupun jasad yang menjadi temaptnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada
permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan wanita diasatukan,
barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan barulah nampak, semenjak kecil
hingga tua bangka, mereka tak menyadari bahwa mereka berasal dari tak tampak
yaitu tiada. Kematian menjadi momok ketakutan bagi yang tak mengenal atmanya.
Orang seringkali memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa
orang saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi
siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran. Yang menguasai manusia
dialam lahir ilaha pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung raga seluruhnya.
Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia, sedangkan atma sudah ada
sebelum manusia lahir kedunia. Tetapi janganlah menyekutukan atma dan
pancaindra, karena didalam pancaindra itu terdapat nafsu-pikiran, itikad
persaan dan akal. Siapa yang beritikad baik pikirannyapun akan tenang, nafsunya
dapat terkendalikan, perasaannya akan lebih tajam, dan akalnyapun akan lebih
cerdas. Siapa yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan
akal budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah
yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi adalah
yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang meniptakan alam semesta dengan
segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam dalam diri manusia,
setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu keduniawian. Siapa yang
mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling esa berkuasa, maka dialah yang
mengetahui kebenaran..
Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin
pasang, namun Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit
pikirannya menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan
Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada dimana-mana
dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya berpikir pada
seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun kejalan
yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian
lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertaqwa, dan
bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan Illahi sambil
menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat
yang diridhai Gusti Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut
prikebajikan adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan
hawa nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. siapa yang melihat bahwa
benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui segala yang terjadi
akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima. Bangkitlah engkau Senopati
anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk
melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah jawa ini!
.
Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang
berlindung dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh
benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung dibawah kekuasaan Sulta
Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang
terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar. Janganlah bersedih hati
menghadapi ujian ini Senopati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari
Gusti Allah demi memberimu petunujuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang
dan malam, wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah jawa ini telah berpindah
dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang
serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak
dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram akan mencapai
puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu
dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut
seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah jawa ini.
kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam,
sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering
bergolak dahsyat"..
Senopati mengankat kepalanya "Yang kanjeng Sunan
wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti
Allah mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum
saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?"
Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir kebawah. Lalu beranak sungai dihulu, dialirkan kesetiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja Illahi nmun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan Taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta darisetan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT"..
Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir kebawah. Lalu beranak sungai dihulu, dialirkan kesetiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja Illahi nmun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan Taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta darisetan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT"..
Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang
ke Kota Gede "Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah
engkau bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah
sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan
membangun tembok dari batu bata disekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk
lewat air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun
tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah
selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu membangun
tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan. Wejangan itupun
diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama
islam di tanah jawa ini..
PUPUH II
S I N O M
01
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.
(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)
02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.
(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidak tidur.)
03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.
(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)
04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.
(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)
05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.
((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.)
06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.
((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)
07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.
(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)
08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.
(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)
09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.
(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)
10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.
(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian, lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)
11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.
(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin, lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya.)
12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.
(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)
13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.
((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)
14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.
(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)
15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.
(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya.)
16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.
(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran Tuhan.)
17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.
(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama.)
18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.
(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)
S I N O M
01
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.
(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)
02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.
(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidak tidur.)
03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.
(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)
04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.
(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)
05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.
((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.)
06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.
((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)
07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.
(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)
08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.
(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)
09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.
(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)
10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.
(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian, lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)
11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.
(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin, lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya.)
12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.
(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)
13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.
((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)
14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.
(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)
15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.
(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya.)
16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.
(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran Tuhan.)
17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.
(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama.)
18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.
(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)
No comments:
Post a Comment