24 Jun 2016

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TATAR SUNDA bag 10



Syarif Hidayat bersilaturakhmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa  Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungannya ke Cirebon, untuk menemui uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.
 Di Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil, menemui uwanya, Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman. Alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika ditemui oleh anak adiknya (suwannya) itu.


Begitu pula Syarif Hidayat, sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya, yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya, Syarif Hidayat bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, menetap di Pakungwati Cirebon.
Syarif Hidayat, Dipati Keling serta 98 anak buahnya, ditempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat diberi jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

sembung syariph hidayat si nebut maulana jati / syeh jati ngaran ira waneh // tumuluy magawe pondok riknng// datan lawas pantara ning janmapada akweh ikang maguru ring sayid kamil / hana pwa syariph hidayat ya to sayid al kamil kang tumuli makanama susuhunan jati / sunan carbon ngaran ira waneh // sangang warsa ri huwusnya sira tamolah ing Jawa dwipa //
Terjemahan:
Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola (magawe) pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Al Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa .

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.
.......//sya_
riph hidayat rinatwaken to
sira dumadi ratu carbon de
ning uwa nira pangeran cakrc
bhuana pinaka tumenggung
tunggaling rajya carbon lawan na
masyidam susuhunan jati //
Terjemahan:
Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

.......// rasi
ka dumadi ratu mahardhika
hanging pajajaran aisyanya
ri sunda i bhumi Jawa  kulwan /
sakamatyan ika para kama
stwing ikang sangan manungsung sukha
mwang mangastungkara ring Pabhiseka
n ira ika / yadyapi maka
behan ira / sang pinakadi
slam hanging Jawa dwipa /
Terjemahannya:
Dia menjadi raja mahardika (memerdekakan diri) dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa  Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga (di Jawa Timur) menyambut gembira, menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan, untuk meng Islanrkan (penghuni) Pulau Jawa.

Semua pemimpin masyarakat desa di Cirebon sangatlah suka-cita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.
Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa  Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Patah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.
ateher kamasturing ikang sangan manganugrahani ring susuhunan jati kakawasan dumadi panetep panatagama rat sunda i bhumi Jawa  kulwan ikang tamalah ing kitha carbon.
Terjemahannya:
Kemudian Wali Sanga menganugerahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagarna rat Sunda i Bhurni Jawa  Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa  Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon. Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.
Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalnya, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.
Ki Purwagalih mengingatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
1.    Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang;
2.    Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati; dan
3.    Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.
"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," itulah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

V.        KESULTANAN  SURASOWAN BANTEN

A.        SABAKINGKIN ALIAS HASANUDDIN

Dalam disertasi Sadjarah Banten Hoesein Djajadiningrat (1913), sebutan Sorasowan, adalah gelar untuk Maulana Hasanuddin:

Hasanuddin, atas usul orang tuanya, dinobatkan menjadi raja dengan gelar Panembahan Sorasowan, dan kembali bersama pengantinnya ke Banten (Djajadiningrat,1983: 35).

Walaupun Sorasowan digunakan untuk nama gelar, karena mengikuti sebutan Panembahan di depannya, terkesan Surasowan di sana, menunjukkan kata benda atau keterangan tempat.

Hal yang hampir sama, dikemukakan oleh Tubagus Haji Achmad (1935), dalam buku Pakern Banten, antara lain:

Maulana Hasanoeddin di Demak dirajakan sekali lagi disaksikan oleh Pangeran Pangeran karena penerima kasih semoeanja mendapat gelaran Panembahan Ratoe Soerasoan. Soera artinja berani, Soan atau Sadji artinja Radja. Soerasoan berarti Radja jang berani (Achrnad,1935: 60 61).

Sorasowan atau Soerasowan (Surasowan), tetap berfungsi sebagai kata keterangan benda, bagi kata yang ada di depannya.
            Saleh Danasasmita (1984), dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat juga membahas Surasowan sebagai kata benda, antara lain:

Salah satu penerus kekuasaan setelah Pajajaran burak ialah kerajaan Surasowan di Banten. Dalam sebuah prasasti tembaga berhuruf Arab yang dikeluarkan oleh Sultan Abdul Nazar (1671 1687), nama resmi yang digunakan adalah Negeri Surasowan. Surasowan adalah nama keraton Banten yang dibangun oleh Panembahan Hasanudin. Dari nama keraton itu tampak bahwa secara tradisional ia mengikuti kebiasaan para raja pendahulunya. Kita ketahui bahwa nama keraton di Kawali adalah Surawisesa dan keraton induk di Pakuan diberi nama Suradipati. Juga istana di Jayakarta kemudian mempunyai nama Surakarta. Berdasarkan gejala itu, Ten Dam (1957) pernah menyatakan bahwa predikat "Sara" merupakan nama "resmi" keraton keraton Sunda (Danasasmita,1984:44).

            Sorasowan dan Surasowan sebagai nama sebutan gelar, atau Surasowan sebagai nama sebutan negeri, bahkan ada pula yang menulisnya dengan Surosowan, semua itu menarik untuk dikaji. Mana sebutan yang paling tepat: Sorasowan, Surasowan, atau Surosowan?
            Hal tersebut, terjadi pula pada sebutan kerajaan Islam di Cirebon. Pada mulanya, Pakungwati adalah nama orang, puterinya Pangeran Cakrabuana, pendiri kerajaan Islam di Cirebon. Kemudian digunakan sebagai nama keraton, yang dibangun di Dukuh Cirebon, menjadi Keraton Pakungwati. Selanjumya berkembang, menjadi sebutan negeri atau negata: Kesultanan Pakungwati Cirebon. Pada akhirnya berubah sebutan lagi, menjadi Kesultanan Cirebon. Pakungwati sebagai nama orang, Pakungwati sebagai nama keraton, Pakungwati sebagai nama kesultanan, teknis penulisannya tetap lama: Pakungwati.
            Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam teknis penulisan: Sorasowan, Surasowan dan Surosowan, sudah tentu harus dicari pembandingnya.

Dalam kajian filologi Carita Parahiyangan sarga 3, Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta, Atja & Edi S. Ekadjati (1989) mengungkapkan sebagai berikut:
            Dalam pernikahan Dewi Mayang Sunda dengan Sri Baduga Ratudewata, berputera beberapa orang, dua orang di antaranya:

1.    Prabu Surawisesa;

2.    Sang Surasowan, menjadi bupati Banten Pasisir. (Atja & Ekadjati,1989:144 dan 153).

Dari kutipan tersebut di atas, teka teki tentang sebutan Surasowan yang sering dikemukakan, mulai menampakkan cercah cercah sinar terang. Jadi dari puteri Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu Susuktunggal), Sri Baduga Maharaja mempunyai dua putera; Prabu Sanghiyang Surawisesa dan Sang Surasowan.
            Sebagai putera Sri Baduga Maharaja, juga sebagai Adipati (raja daerah) di Banten Pasisir, Sang Surasowan berkuasa atas pelabuhan perdagangan laut, dan mampu mendirikan keraton yang memadai.

Sang Surasowan mempunyai dua orang putera, antara lain ialah;

1. Sang Arya Surajaya; dan
 2. Nyai Kawunganten.

Sebagaimana yang dikemukakan dalarn naskah Pustaka Pararatwan i Bhumijawadwipa parwa I sarga 4 halaman 34, pada masa pemerintahan Sang Surasowan di Banten Pasisir, Islam sudah mulai bersemi.

satuluynya a-
 li rakmatullah umareng Ja-
 wa dwipa mandeg sawatareng
 bantennagari // riking sang ali
 mawarawarahaknagarni rasu-
 l ring janrnapada // datan lawas pa-
 ntara ning rasika lungha ring
 jawa  wetan anjuju-

g wwang pasanak ireng wilwati-
 kta kedatwan /

Terjemahannya:

Selanjutnya Ali Rakhmatullah pindah ke Pulau Jawa , singgah sebentar di Negeri Banten. Di sana Ali Raktmratullah mengajarkan agama Rasul (Islam) kepada penduduk. Tidak berapa lama dia berangkat menuju ke Jawa  Timur untuk menemui saudaranya di Keraton Majapahit.

            Sebagaimana buyut dan ayahnya (Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja), Sang Surasowan bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam. Atas seijin Sang Surasowan, dalam waktu yang relatif singkat, Islam yang diajarkan Ali Rakhmatullah, banyak mendapat simpati dari penduduk. Masyarakat Banten Pasisir banyak yang menjadi murid Ali Rakhmatullah. Kelak, di kemudian hari, masyarakat Banten Pasisir masih tetap mengenang dan menghormati jasa Ali Rakhmatullah, dengan memberi gelar Tubagus Rakhmat.
            Sepeninggal Ali Rakhmatullah, kerinduan masyarakat Banten Pasisir terhadap ajaran Islam, terobati dengan kehadiran Syarif Hidayat, yang singgah di Negeri Banten sesudah singgah di Pasai (Sumatera).

tumuluy ring jaxuadunpa ma-
 ndeg ing bantennagari// ngke janma-
 pacda akweh ikang meku-
 lagama rasul/ mapan pa-
 warahmarahan ira sayid rakhma-
 t sakeng ngampel ghading
 ya namasyidam susuhunan a-
 mpel juga wwang pasanak ira //

Terjemahannya:
 Selanjutnya, di Pulau Jawa  singgah di negeri Banten. Di sana banyak penduduk yang sudah memeluk agama Islam. Karena berkat binaan Sayid Rakhmat (Ali Rakhmatullah) dari Ampel Gading yang bergelar Susuhunan Ampel, yang terhitung masih saudaranya juga



Sang Surasowan menyambut baik kehadiran Syarif Hidayat di negerinya. Apalagi setelah diketahui, bahwa Syarif Hidayat itu putera Larasantang, cucu Sri Baduga Maharaja, masih saudaranya juga. Dalam waktu yang relatif singkat, Syarif Hidayat mendapat simpati dan dihormati oleh masyarakat Banten Pasisir. Untuk mempererat kekerabatan, Syarif Hidayat berjodoh dengan Nyai Kawung Anten, puterinya Sang Surasowan.
            Dari pernikahan Nyai Kawung Anten dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 Masehi, Sang Surasowan mempunyai cucu laki laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki laki itu diberi nama Sabakingkin. Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.
            Sesunguhnya, riwayat legalitas Sabakingkin (Hasanuddin) sebagai putera Syarif Hidayat, sudah banyak terkisahkan dalam naskah naskah yang lebih muda. Hanya saja, para penulis Babad, lebih mengutamakan bumbu daya pikat sastranya, dari pada substansi historisnya.
            Dalam Sajarah Banten Hoesein Djajadiningrat (1913), tentang "orang tua" Hasanuddin, dikisahkan sebagai berikut:

Diceritakan sekarang tentang seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa , yaitu Pakungwati, untuk meng-Islam kan daerah ini. la mempunyai dua orang anak; seorang perempuan (yang tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya yang laki laki ia berangkat ke arah barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari (Djajadiningrat, 1983: 33).

            Tentang "seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail, kemudian dijelaskan, bahwa "seorang yang keramat" itu, dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk meng Islamkan daerah ini. Secara tersamar, penulis Babad Banten yang dibahas Hoesein Djajadiningrat, nampak ingin meriwayatkan orang tua Hasanuddin. Akan tetapi, pengetahuan penulis Babad Banten tentang silsilah Syarif Hidayat, sangat terbatas. Sehingga sebutan "orang yang keramat" itulah yang muncul, untuk menyatakan bahwa orang tua Hasanuddin adalah "tokoh penting".
            Dalam Pakem Banten Tubagus Haji Achmad (1935), legalitas Hasanuddul sebagai putera Syarif Hidayat, dikemukakan antara lain sebagai berikut:

Maka terseboetlah pada masa dahoeloe, koerang lebih hidjrah Nabi 887, tahoen Belanda k.l. 1472, Maulana Machdoem Sarif Hidajatoellah, Kangdjeng Soenan Goenoeng Djati di Tjirebon, mengoetoes anakda Baginda Pangeran Hasanoeddin, soepaja datang ke negeri Banten, pertama disoeroeh menjebarkan agama Islam, kedoea mena'loekkan radja-radja di Banten, karena telah diketahoeinja bahwa Pangeran Hasanoeddin lajak dan pantas, akan bisa mentjapai maksoed hingga mendjadi Radja di Banten kelak sampai ketoeroen toeroenannja (Achmad,1953: 24).

            Pakem Banten, menurut penyusunnya Tubagus Haji Achmad, menggunakan sumber "Parimbon Banten, yang hampir malah sudah musnah, karena dilalaikan oleh yang dipusakainya". Berdasarkan kutipan tersebut di atas, para penulis Parimbon Banten, cukup menjelaskan posisi Hasanuddin sebagai putera Syarif Hidayat. Hanya saja, pada kalimat selanjutnya, terjadi "plot less" (simpang siur) siapa yang mempunyai peranan penting, dalam proses meng-Islam kan Banten. Sebagaimana umumnya penulis Babad Banten, "raja-raja Banten non Islam" selalu diperankan sebagai antagonis (peran lawan), untuk menonjolkan semangat penyebaran Islam di kemudian hari. Sedangkan, kekerabatan Sang Surasowan dengan Syarif Hidayat, sangat gelap (peteng), tidak terjangkau oleh pengetahuan para penulis babad.

Berdasarkan kaol Cibeber, yang berhasil dirangkum dan didokumentasikan oleh Yayasan Ujung Wahanten (1996), mengemukakan hal yang sama, antara lain:

Pada abad 15, disaat Kg. Maulana Hasanudin pertama kali masuk ke Negri Banten, dimana pada waktu itu rakyat Negri Banten masih menganut agama kepercayaan Animisme dan masih di pimpin oleh Kerajaan Pajajaran dan Pakuan, Kg. Maulana Hasanudin berhasil menaklukan raja raja Pajajaran dan Pakuan berserta rakyat dan pengikutnya, maka Kg. Maulana Hasanudin di tantang mengadu kekuatan kesaktian oleh salah seorang sesepuh di Negri Banten yang bernama Pucuk Umun, di Tegal Papak Waringin Kurung Banten. Kg. Maulana Hasanudin adalah putra pertama Seh Syarif Hidayatullah seorang ahli yang menurunkan raja raja di Cirebon, Banten dan Demak. Sang Ayah tinggal di Gunung Jati Cirebon yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.



Mengenal Hasanuddin sebagai putera Syarif Hidayat, sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pernyataan selanjutnya, "pada waktu itu rakyat Negri Banten masih menganut agama kepercayaan Animisme dan masih di pimpin oleh Kerajaan Pajajaran dan Pakuan", patut dicermati. Kerajaan Pajajaran serta Pakuan nya, kembali disudutkan ke dalam peran antagonis. Tuduhan terhadap Pajajaran menganut "agama kepercayaan Anirnisme", tidak mendasar. Adanya acuan naskah kuna Sanghiyang Siksakandang Karesian, Amanat Dari Galunggung, Carita Parahiyangan, dan Agama Sunda Wiwitan di "Baduy", sudah cukup memberikan gambaran agama orang Sunda Pajajaran. Tuduhan Animisme, seharusnya dialamatkan kepada Manusia Purba, jauh sebelum Kerajaan Sunda Pajajaran berdiri.

Dalam Riwayat Kesultanan Banten Th. Hafidz Rafiuddin, S.Ag. (2000), mengemukakan hal yang hampir sama, antara lain sebagai berikut:

Pada kenyataannya sebelum Sulthan Maulana Hasanuddin ditugaskan oleh Ayahandanya Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan Islam di Banten, pada waktu itu masyarakat Banten yang dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk Umun) dibantu oleh Maha patihnya Ajar jong dan Ajar jo sebagal pemeluk Animisme.

Maulana Hasanuddin. Dilahirkan pada tahun 1479 di Cirebon dan wafat pada tahun 1570 di Banten. Pada 1525 Maulana Hasanuddin mengIslarnkan Banten Utara secara berangsur angsur, yang tidak masuk Islam mengungsi ke Parahiyangan (Cibeo/Kanekes Banten) (Rafiuddin, 2000: i & 9).
            Dengan adanya hal hal semacam itu, sulitlah bagi kita untuk menentukan, apa sesungguhnya agama orang Pajajaran itu. Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu ngawakan Jati Sunda", yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan "agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan parahiyang". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyang seperti itu, adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan, mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan `Jati Sunda", yang dewasa ini disebut Sasaka Domas.
            Orang Tangtu ("Baduy dalam") adalah keturunan "Para Wiku", orang panamping ("Baduy Luar) merupakan keturunan "Kaum Sangga". Mereka bertugas, melakukan "Tapa di Mandala", dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun temurun. Jauh sejak masa sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984: 41).

            Bangunan megalit Kosala dan Arca Domas memperlihatkan adanya hubungan dengan orang orang Baduy yang kini hidup mengisolir diri di daerah Banten Selatan. Monumen monumennya berupa bangunan batu berundak lima tingkat, dan pada setiap undak terdapat menhir (Soejono et al., 1984: 219). Dalam kompleks tersebut dijumpai batu berbentuk segi lima, di bagian bawah yang tertanam dalam tanah terdapat sejumlah batu bulat bergaris tengah antara 10-15 cm.
             Di situs ini pula terdapat arca kecil melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat bangunan berundak. Kedua tangan arca ini digambarkan dilipat ke depan, dan salah satu tangannya mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan undak paling atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut kepercayaan orang Baduy, menhir ini merupakan lambang dari Batara Tunggal sang pencipta roh, dan kepadanya pula roh roh tersebut kembali.
             Peninggalan megalit Lebak Sibedug berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya setinggi 6 meter. Di depan undakan batu ini terdapat lahan datar dan di sini pula terdapat sebuah menhir yang ditunjang batu-batu berukuran kecil.
             Bangunan berundak di Kosala, Arca Domas dan Lebak Sibedug tersebut, masih dipuja dan dikeramatkan, dan karenanya bangunan bangunan megalit di Banten Selatan ini termasuk kategori living megalithic culture, yang berarti benda benda arkeologi/megalit yang masih berada dalam konteks sistem perilaku pendukungnya (Michrob,1993: 27).
             Kembali kepada proses Islamisasi di Banten, dalam Carita Parahiyangan sarga 3, Atja dan Edi S. Ekadjati mengemukakan riwayat selanjutnya, antara lain sebagai berikut:

Dari isteri kedua, Sri Baduga Maharaja berputera beberapa orang, dua orang di antaranya: (1) Dipati Suranggana, menjadi ratu wilayah Wahanten Girang. Dia kemudian memeluk agama Islam, dan berganti nama menjadi Ki Bagus Molana. Anak menantu dan hamba sahayanya, menjadi pemeluk agama Islam; (2) Tumenggung Jayamanggala, menjadi adipati Pakuan (Atja & Ekadjati,1989 :144).

            Dari kutipan tersebut di atas, nampak sekali tidak ada istilah "pemaksaan", "dipaksa", "takluk" atau "ditaklukkan", sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para penulis Babad maupun "penulis sejarah" Banten masa kini. Dipati Suranggana alias Ki Bagus Molana, anak, menantu, serta hamba sahayanya, dengan ikhlas "beralih agama", sebagai penganut agama Rasul Muhammad. Dialah putera Sri Baduga Maharaja, pembesar Pajajaran kedua yang memeluk agama Islam, setelah Pangeran Cakrabuana (Cirebon).

Dari bahasan Atja & Edi S. Ekadjati, diketemukan dua sebutan: "Banten Pasisir" dan "Wahanten Girang". Boleh jadi, memang ada perbedaan antara sebutan Banten Pasisir dengan Wahanten Girang. Akan tetapi, sebutan wahanten menjadi banten, maksudnya itu itu juga, hanya pelafalan yang berbeda.
            Hal tersebut mengingatkan kembali kepada berita Cina (1430 Masehi), tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, bahwa "Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut turut, baik oleh orang Cina, maupun oleh orang Arab pada awal abad ke 16. Hendaknya digarisbawahi, bahwa dalam naskah inilah (berita Cina) nama tempat "Banten" (wan tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya (Guillot,1996:119).
        

No comments:

Post a Comment