Pada abad XIV daerah ini bernama Tresna yang merupakan pintu keluar masuknya para ki gedeng seperti Ki Gedeng Palimanan dan Ki Gedeng Pasawahan yang hendak berburu rusa dan menikmati pemandangan pegunungan. Oleh karena daerahnya sering dilewati pemburu, Ki Buyut Tresna dikenal dengan nama Ki Paderesan.
Ki Gedeng Pasawahan alias Ki Makeru di samping senang berburu, ia kerap kali memusuhi Mbah Kuwu Sangkan di mana keduanya sama kuat, baik ketika bertempur di atas gunung maupun bertarung di atas air. Ki Makeru tidak segan-segan melakukan tipu daya dengan cara yang licik, dan secara tiba-tiba memukul dari belakang, sehingga Mbah Kuwu dengan ketinggian ilmunya semula terkesan tidak sungguh-sungguh melayani setiap pertarungan.
Ki Makeru terkenal sakti mandraguna. Ia memiliki berbagai ilmu hitam seperti ilmu meringankan tubuh, masuk lubang kecil, ilmu mencala putra mencala putri untuk menipu jalasutra, sehingga ia selalu menginginkan pertarungan dilakukan di atas gunung atau di atas air. Mbah Kuwu akhirnya meladeni setiap keinginan Kimakeru, dimana dengan kepandaian ilmunya beliau mengetahui kelemahan musuhnya, apalagi pengikut Kimakeru sebagian besar telah ditundukannya. Segala cara yang di tempuk Ki Makeru dengan mudah dipatahkan beliau. Meskipun bukan tandingan Mbah Kuwu, Ki Makeru tetap tidak mau tunduk bahkan oleh kerena merasa dipermalukan ia menghilang, tidak mau masuk agam islam.
Setelah melakukan pertempuran, Mbah kuwu bermaksud meninggalkan Pasawahan untuk beristirahat sambil menikmati air pohon enau (lahang) kesukaannya di Panderesan. Sangat disayangkan air lahang kesayangannya tidak tersedia sehingga Mbah Kuwu kecewa dan berkata kepada Ki Panderesan, apabila hendak menyadap aren bacakan syahadat tiga kali.
Sekembalinya Mbah Kuwu ke cirebon, Ki Panderesan segera membuat lodong dari bambu untuk menyadap aren. Sebagaimana dipesankan Mbah Kuwu, Ketika akan memasang lodong Ki Panderean tidak lupa membaca syahadat tiga kali. Sungguh ajaib ketika lodong diturunkan esok harinya, ternyata lodong itu tidak berisi air lahang melainkan mas dan intan.
Ki Panderesan sangat gembira dan berbahagia. Ia bernadar ingin makan bersama Mbah Kuwu serta pengikutnya yang akan singgah kembali di Panderesan. Untuk menghormati tamunya itu, Ki Panderesan menyediakan berbagai hidangan, hingga tanpa disadari ayam yang sedang mengerampun ia potong. Ketika Mbah Kuwu menikmati hidangan itu, beliau tersenyum dengan hati yang tak tega oleh karena panggang ayam yang dihidangkan itu berasal dari induk ayam yang sedang mengeram. Tak lama kemudian panggang ayam itu berubah, hidup kembali seperti semula.
Ketika akan kembali ke Cirebon, Mbah Kuwu mengajak Ki Panderesan pergi ke Cirebon. Ketika ditanyakan kepada Mbah Kuwu apakah hewan-hewan peliharaan seperti ayam, bebek, kambing dan lainnya perlu dibawa ke Cierbon? Mbah Kuwu Sangkan Mengatakan tidak perlu. “Lihat saja nanti apa yang akan terjadi”, pintanya. Dan tak lama kemudian semua hewan berubah menjadi ular. Oleh karena itu, daerah ini terkenal dengan ular-ularnya yang besar. Dalam perjalanan ke Cirebon, Pusaka cis milik Mbah Kuwu terjatuh ke sungai. Parapengikut Mbah Kuwu segera menambak sungai dengan pasir atau keusik. Setelah itu airnya ditimba atau di parak berammai-ramai hingga kering atau saat, akan tetapi yang ditemukan hanya kerangkanya saja. Sungai tempat terjatuhnya cis Mbah Kuwu itu dikenal dengan nama Parakan Keusik, dan daerah sekitarnya di sebut Cisaat hingga sekarang.
Ki Buyut Cisaat yang diketahui di antaranya:
1. Kasep Sabale.
2. Narum.
3. Mangku Jaya.
4. Mangku Raga.
5. Sela merta.
6. Tuan.
7. Irodat.
8. Merta Gati.
9. Nursimah.
10. Udin.
11. Surangga Bima.
12. Pabunan.
13. Nampa.
14. Sarif.
15. Kembar.
16. Kesem.
17. Katijem.
18. Lulut.
19. Leuleut.
20. Kenanga.
21. Kenangi.
Kuwu Cisaat:
1. Sukini : 1987 - 1992
2. Supadi, SH : 1992 - 1997
3. Drs.Suradi : 1997 - 2002
4. Sudana : 2002 – sekarang ##
Nara Sumber:
1. Darja. 2. Joni. 3. Karna.
Sumber : http://rio-zzz.blogspot.com/
ASAL USUL DESA KLAYAN
Pada zaman dahulu kala tersebutlah patih Danalaya dari kerajaan Pajajaran yang diutus oleh raja Pajajaran bernama Prabu Siliwangi untuk menemui seorang ulama di Cirebon bernama Syeh Datul Kahfi. Patih Danalaya diutus menemui Syeh Datul Kahfi dengan tujuan untuk memperingatkan ulama itu supaya berhenti menyebarkan agama Islam di wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran.
Sesampainya di tempat kediaman Syeh Datul Kahfi, Patih Danalaya pun mengutarakan maksudnya kenapa datang menemuinya.
"Saya datang kesini karena diutus oleh Prabu Siliwangi supaya kisanak berhenti menyebarkan agama Islam di wilayah kekuasaaan Pajajaran."
Bukannya mengiyakan, dengan sopan Syeh Datul Kahfi malah mengajak patih Danalaya untuk ikut memeluk agama Islam sambil menerangkan tentang kemuliaan agama Islam.
Tentu saja Patih Danalaya menjadi kebingungan dan serba salah. Kalau ia tak berhasil mencegah ulama itu untuk berhenti menyebarkan agama Islam maka ia pasti akan dihukum oleh Prabu Siliwangi, tapi di lain sisi ia pun tak tega untuk memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan karena ulama itu begitu sopan kepadanya.
Ditengah-tengah kebimbangan hatinya, patih Danalaya pun memutuskan untuk menolak dengan halus tawaran ulama tersebut untuk memeluk agama Islam dan berniat untuk bersemedi saja di tengah hutan.
Setelahnya mengutarakan maksudnya itu Patih Danalaya pun pamit untuk melaksanakan niatnya bertapa di tengah hutan.
Beberapa bulan kemudian, Mbah Kuwu Cerbon mendengar bahwa ditengah hutan ada seorang pandita sakti yang sedang bertapa. Kuwu Cerbon yang sebelumnya telah menyamar dengan mengganti nama menjadi Ki Gemu pun mendatangi sang pandita sakti itu dengan maksud untuk mengislamkan pandita hindu tersebut.
"Ada apa dan siapakah gerangan kisanak ini hingga berani mengganggu semediku?" Tanya Ki Patih Danalaya.
"Namaku Ki Gemu. Maksud dan tujuanku kesini adalah untuk mengajak kisanak memeluk agama Islam." Kata Kuwu Cerbon.
"Kalau seandainya aku menolak, apa yang akan Kisanak lakukan?"
"Kalau menolak, silahkan kisanak untuk meninggalkan tempat ini karena ini adalah daerah islam." Tandas ki Gemu.
Karena merasa tersinggung, akhirnya patih Danalaya pun menyerang Ki Gemu dan pertrungan pun tak terelakan lagi.
Kedua kesatria yang sama-sama berilmu tinggi itu saling menyerang dan berusaha mengalahkan lawannya. Malaikat maut mengawasi cemas, memastikan pada siapa maut akan berpihak.
Setelah beberapa lama akhirnya Patih Danalaya harus mengakui kehebatan Ki Gemu dan bersedia untuk meninggalkan tempat itu karena beliau tetap tak mau masuk agama islam. Patih Danalaya yang tak berani untuk kembali ke pajajaran karena takut dihukum oleh Prabu Siliwangi atas kegagalannya mengemban tugas akhirnya memilih untuk pergi berkelana tak jelas arah dan tujuan yang oleh masyarakat Cirebon disebut sebagai Lunga kelaya-laya.
Dari kata Kelaya-laya inilah kemudian tempat semedi patih Danalaya pun dibuka menjadi sebuah pedukuhan (Desa) dengan nama Klayan...
Sumber : http://portalcirebon.blogspot.com
No comments:
Post a Comment